Musafir Isfanhari : Sang Musafir Keroncong
“ Saya bersedia dan membuka diri jika generasi muda atau para pelaku musik keroncong ingin belajar teori musik pada saya. Saya akan memberikan pengalaman dan kemampuan saya demi memajukan musik keroncong di tanah air ini. Bukan secara skill, skill musik keroncong harus anda sendiri yang gali sesuai imajinasi anda, pada tataran ini saya hanya memberikan ilmu teori musik. Untuk selanjutnya kreatifitas andalah yang berperan.” (musafir Isfanhari)
Begitulah komitmen seorang Isfanhari dalam hal musik keroncong menjawab gugatan pecinta keroncong atas kondisi musik keroncong yang saat ini masih saja belum mendapat tempat yang memadai, dan musik Keroncong masih kurang diminati oleh masyarakat secara umum.
Cara kita memandang masalah, menentukan cara kita menanggapinya
Ketika Barack Obama menjadi presiden terpilih Amerika Serikat, seketika itu orang Indonesia ikutan menjadi heboh dan ikut merayakan kemenangannya. Wajar saja orang Indonesia ikut merayakannya, karena semasa kecil Barry Soetoro –panggilan Obama semasa kecil- pernah besar dan tinggal di Indonesia –meski hanya 4 tahun-. Dan biasanya kemudian muncul beberapa peristiwa menggelitik di kalangan masyarakat “ jelek-jelek gini, saya dulu teman sekolah Obama lho! ; saya ini istrinya teman sekolah Obama itu.. ; saya ini temannya adiknya mbak yang suaminya teman sekolah Obama tadi.. ; saya ini keponakannya paman saya yang temannya adiknya ibu yang suaminya teman sekolah Obama.. ” ; pasti anda juga pernah mengalami atau mendengar hal semacam itu di masyarakat lingkungan tempat anda tinggal.
Guyonan –lelucon- seperti itu merupakan penggambaran yang pas bagi arti sebuah feodalisme. Di negara tempat kita tinggal ini, banyak terdapat individu yang terkadang menunjukkan ke-aku-annya melalui relasi dan kenalan seperti itu agar dirinya juga dianggap memiliki tingkatan sosial yang sama dengan kenalan atau relasinya tersebut –aku ini anak pejabat, aku ini teman bupati kota Bangkalan, aku ini pamannya lurah Balong Sari begitu seterusnya-. Pola pikir seperti ini berpengaruh terhadap cara pandang individu tersebut terhadap suatu hal.
Gambaran di atas, oleh Isfanhari dilihat sebagai gambaran yang begitu pekat ke-feodal-an masyarakat Indonesia yang pada akhirnya menjadikan cara pandang masyarakat Indonesia tentang sebuah musik sudah terkotak-kotak dan tersekat-sekat, seperti musik Keroncong adalah musiknya orang tua, musik dang dut musik orang kelas bawah, musik jazz musik para mahasiswa yang status ekonominya berkecukupan dan musik orang elite, musik klasik musik para orang yang aristocrat. Pengotakan-pengotakan tersebut yang membuat musik di Indonesia tidak bisa berkembang, tentunya juga bagi musik Keroncong sendiri. Karena sebetulnya ketika musik-musik tersebut tercipta dan diciptakan tidak ada tujuan bahwa musik dang dut adalah musiknya tukang becak, musik jazz adalah musiknya mahasiswa, musik klasik adalah musiknya orang yang aristocrat, jadi siapapun boleh saja menikmati atau menggemari musik apapun. Tukang becak boleh-boleh saja mendendangkan jazz di dudukan becaknya, musik dang dut sah-sah saja didengarkan oleh para mahasiswa dan tak jarang saat ini di mobil-mobil para esmud –eksekutif muda– terdapat cd-cd lagu dang dut yang menjadi teman di waktu berangkat dan pulang kerja mereka, jadi mengapa harus disekat-sekat dan dikotak-kotakkan?
Kisah Piano Berdebu
Pengalaman Isfanhari ketika diminta menjadi pelatih vokal oleh sekelompok anak sekolah untuk menghadapi ujian kesenian di sekolah mereka, tepatnya melatih suatu vokal group sekolah –bukan lomba atau ajang award bergengsi -, setelah beliau sepakat maka beliau mendatangi rumah anak sekolah tersebut.
Gonggongan anjing penjaga yang besar dan galak-galak menyambutnya. Meski8 dalam kandang, gonggongan anjing itu cukup menggetarkan hati. Setelah beliau masuk rumah di ruang tamu langsung disambut dengan sebuah piano kustik yang harganya mencapai 60 jutaan, lantas mencoba memainkannya. Ketika membuka selubung piano itu, tampaklah debu yang sangat tebal melingkupi piano kustik tersebut. Sembari membersihkan piano, Isfanhari bertanya, ” Ini siapa yang biasa memainkan piano?”, dan dijawab, “ Tidak ada pak, tidak ada yang memainkannya”.
Perasaan Isfanhari sebagai seorang guru musik tersintuh, ” Terus kalau tidak ada yang memainkannya mengapa harus dibeli?” lagi-lagi terdengar jawaban,” Wah gak tau papa itu…” jawabnya.
Kisah piano berdebu menyentakkan hati Isfanhari atas kondisi masyarakat yang belum paham betul akan arti pentingnya musik, namun lebih menjadikan jenis alat musik mahal – meski tidak bisa memainkannya – sebagai simbol dan status sosialnya. Pada sisi ini, sang empunya piano berdebu hanyalah sebagian kecil dari perilaku yang sok dianggap beradab melalui musik, namun itu sebuah kehidupan yang artificial, tidak otentik. Isfanhari sendiri menilai jenis irama musik tidak ada yang salah, semua layak berkembang, seperti halnya keroncong pun harus berkembang.
Memang, pengalaman Isfandari dalam mencermati perkembangan musik, khususnya keroncong kalah jauh dibanding musik lain seperti jazz, dangdut, pop, R&B, dll. Jenis musik keroncong yang lembut dianggap kurang menghentakkan jiwa kaum muda, jernih keroncong tak sejernih musik klasik, demikian sering diasumsikan. Sehingga keroncong menjadi musik yang ’nanggung’. ”Pada situasi ini musik keroncong butuh penyegaran, inovasi, dan kreatifitas baru,” papar Isfanhari tegas.
Proses kreatif : kunci tumbuh kembang keroncong
Tahun 2007 Isfanhari membuka pelatihan musik gratis bagi pelaku musik keroncong di Surabaya dengan suka rela dan tanpa dipungut biaya bagi peserta demi memajukan musik Keroncong. Yang dibekalkan oleh Isfanhari adalah ilmu musik, untuk pengembangan skill musik keroncong, para peserta didik diberi kebebasan untuk berkreasi dan mempraktekkan teori musik tersebut pada latihan-latihan di orkes-orkes keroncongnya sendiri. Namun pelatihan tersebut hanya berlangsung selama empat bulan saja, akibat peserta didik yang semakin lama semakin berkurang hingga tandas habis.
Ini merupakan kelemahan dari para musisi Keroncong, yang dalam pikirannya selalu terbersit setiap ‘crong’ itu harus dapat duit. Hal itu tidak salah dan sah-sah saja. Namun, dibanding Group-group yang sudah besar seperti Nidji, Dewa 19, Sheila on 7, Peterpan dan lain sebagainya, setiap kali mereka ‘jrieng’ mereka dapat duit, namun yang harus dilihat bahwa proses dari ‘jrieng’ sampai menjadi dapat duit tersebut, mereka melalui proses yang dinamakan berlatih dan terlebih mempunyai gaya sendiri dalam memainkan musiknya sendiri.
Menemukan gaya dan corak merupakan pilihan sebuah group musik. Sedemikian juga dalam musik keroncong. Bahwa setiap group keroncong pun dituntut untuk secara kreatif dan inovatif menemukan gaya dan coraak setiap group tersebut, meski tetap dalam jalur keroncong. Tujuan awal dari pelatihan yang ingin diberikan pak Isfanhari pada pelaku musik Keroncong adalah memajukan musik keroncong terutama membuka wawasan bermusik para musisinya, jika sudah terbuka silakan anda-anda berkreasi. Karena secara skills musik para pemain keroncong ini sangatlah bagus, namun pengetahuan tentang musik masih kurang. Seperti pada latihan-latihan orang keroncong, sudah menjadi kebiasaan ketika di saat memulai satu lagu, terlontar “main opo? –nada apa?-“ kemudian sang violins menjawab “main satu” –dengan hanya mengacungkan jari telunjuk, yang mengisyaratkan do = G-, kemudian jika dijawab “main dua” –dengan mengacungkan dua jari, yang berarti do = D- untuk nada berikutnya seperti A, Bes, C, F dan seterusnya tidak ada simbolnya. Setelah ditanya “mengapa jika dijawab main satu itu memainkan nada G?, dari mana asalnya?” Karena arti satu bisa ada dua nada, bisa nada G atau juga bisa nada F, jika nada G berarti satu #, kalau satu ? berarti nada F. Contoh kecil seperti itu yang ingin dibuka oleh Musafir Isfanhari pada para musisi Keroncong, pengetahuan tentang ilmu musik khususnya.
Mengambil contoh legenda dangdut Indonesia dan dunia, Rhoma Irama, dulu Rhoma Irama pemain musik rock, namun kemudian dia terjun ke musik dang dut. Dia mencoba meramu musik dang dut dengan musik rock, dalam hal ini dang dut tetap dang dut tetapi dengan kemasan yang baru. Di saat tahun ’70-an musik dang dut itu disepelekan sebagai musik kampungan, musiknya pemabuk dan lainlain yang citranya negatif. Saat itu Rhoma pernah mengarang lagu berjudul musik yang penggalan syairnya ada yang berbunyi “boleh benci tapi jangan mengganggu . . .” saat itu musik dang dut benar-benar dibenci, disepelekan, diremehkan dan dipandang sebelah mata, disini Rhoma ingin mengangkat musik dang dut agar tidak dipandang sebelah mata, ternyata bang Haji ini berhasil mengangkat gengsi musik dang dut. ” Coba sekarang lihat, siapa yang gak suka musik dang dut? Sekarang dang dut jadi sumber uang yang luar biasa. Rock masih kalah, musik rock barang kali penggemarnya banyak, namun frekuensi tampilannya sedikit sekali coba saja lihat di acara Televisi semua acaranya tak terlepas dari musik dang dut. Kunci sukses bang Roma berasal dari ketekunannya menjaga image dang dut jangan sampai jatuh dan semangatnya untuk selalu memperbaharui musik dang dut secara terus menerus”. Musik dang dut saat membikin syair tidak peduli –dalam artian jika musik Jazz, atau musik pop sangat-sangat tersusun rapi- disaat punya inspirasi langsung dikeluarkan secara spontan, seperti SMS, kucing garong, anggur merah, intinya apa yang saat ini terjadi di masyarakat langsung diangkat lewat musik. Saat tahun ‘80an ada sebuah lirik musik dang dut berbunyi “apa arti kamu menangis di depan penghulu, orang lain dapat nangkanya aku dapat getahnya” lirik semacam ini tidak mungkin bisa dibuat oleh pemusik Jazz, coba musik dang dut ya enak saja langsung disenandungkan meski “ngawur” tetapi mereka sangat berani, variatif ditambah dengan pemusiknya banyak sekali anak muda, jadi banyak terjadi pembaharuan-pembaharuan.
Musik Keroncong merindukan ide-ide segar dan pembaharuan seperti pada musik dang dut untuk kemajuan musiknya, segala sesuatu tentulah berproses begitu juga musik keroncong kita saat ini. Jadi Keroncong yang kita main dan dengarkan saat ini adalah hasil evolusi musik dari jaman dulu hingga sampai saat ini yang kita kenal dan kita sebut musik keroncong. Dahulu kala bentukan musik keroncong tentulah tidak sama persis dengan musik keroncong yang saat ini kita dengar, jadi jangan takut untuk berkreasi dan melakukan revolusi musik. Jadi jika pada nantinya setelah berkreasi didalam bermusik keroncong, musik anda dibilang bukan musik keroncong, berarti jenis keroncong anda dengan orang yang berkomentar tadi berbeda. Yang perlu diingat adalah apa yang dimaksud dengan keroncong adalah :
-
Alat musik seperti gitar tetapi kecil dengan 4 dawai,
-
Bentuk komposisi musik yang terdiri dari 28 birama ditengah ada interlude, bentuk komposisinya satu model,
-
Satu group ansambel musik yang terdiri dari bass, cello, gitar, cak, cuk, flute, dan biola,
-
Keroncong adalah pola permainan –cong crong cong-, jadi meski dengan syair barat namun dengan menggunakan pola permainan demikian, itu sudah bisa dikatakan sebagai musik keroncong,
Keroncong harus mengikuti perkembangan jaman, lebih menampilkan kreatifitas yang segar agar selalu mendapat tempat di generasi muda, khususnya bagi penggemarnya.
–nton–
Rabu, 3 nopember 2008
Artikel yang bagus, lanjut terus berkreasi!
pak isfanhariiii….. sya pengin juga belajar keroncong, tpi vokalnya aj pak!!!! mhsw sendratasik 2008 unesa