Keroncong Goes Global
Upaya meng-global-kan musik keroncong, sebagai gagasan merupakan cita-cita agar musik keroncong bisa melampaui batas kewilayahan serta batas kesejarahannya. Dengan demikian, masyarakat dunia tahu bahwa musik keroncong itu ada. Sedemikian pentingnyakah musik keroncong bagi dunia? Sebagai sebuah aliran musik, sebagai karya budaya manusia musik keroncong tentu memiliki raison d’etre, dan layak untuk tetap ada. Memakai pemikiran Rene Descartes, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, maka insan pegiat keroncong ditantang untuk terus ada dan meng-ada. Ada berarti terus hadir, dan ada juga berarti hidup dengan karya-karya baru dan original, sebab keroncong yang hidup berarti tumbuh dan berkembang serta berbiak.
Keroncong goes global, akan beriringan globalisasi ekonomi yang telah jauh mendahuluinya. Pada sisi ini, musik keroncong akan bertempur dan bersaing dengan musik-musik jenis lain yang juga ingin berkembang dan bahkan dengan musik-musik yang telah lama berkecimpung dalam ranah industri musik.
Gerakan mendorong musik keroncong meng-global membutuhkan daya imajinasi yang kuat, maka setidaknya keroncong membutuhkan komunitas yang akan menghidupi keroncong itu sendiri. Pada konsep imagine community (Ben Anderson, 1983) komunitas keroncong yang selama ini ada, sadar atau tidak tergerak oleh komunitas terbayang ini, yang pada gilirannya embodied dan membesar. Di situasi ini organisasi menjadi penting untuk mengatur dan mencapai maksud dan tujuan.
Keroncong goes global dalam era globalisasi
Globalisasi secara umum mendorong terjadinya kontak masyarakat dunia yang meretas batas wilayah, melampaui imagined community yang ada saat ini. Namun demikian, tantangan terbesar era globalisasi adalah di bidang ekonomi, sebab penguasaan atas asset ekonomi menjadi begitu dikaburkan, sehingga batas-batas, dan mengaburkan nation, bahkan mengaburkan nation yang sedang dibangun melalui komunitas keroncong itu sendiri.
Meng-global-kan keroncong sebagai gagasan untuk menampilkan wajah identitas bangsa, dan pada saat ini nampaknya mengglobalkan keroncong sebagai wacana untuk menggugat identitas diri yang mana hadirnya musik dari luar telah menenggelamkan heritage yang ada. Menguatkan keroncong dalam rangka memugar kesadaran diri yang baru, dan menegosiasi pola relasi baru (dengan “capitalist”) berdasar kesadaran diri yang baru itu. Nasionalisme merupakan strategi sosial-budaya-politik yang digunakan sebagai kendaraan untuk melawan imperialisme global. (Robertus Widjanarko, 2006)
Akhirnya kita dihadapkan pada pertanyaan yang menggelisahkan: dengan senjata apakah kita menghadapi kembalinya gelombang kolonialisme yang lebih dahsyat dengan wajah perdagangan (kapitalisme) global, sementara imagined community tiba-tiba menguap seperti asap? Dengan bahasa dan wacana macam apa kita memproduksi dan terus mereproduksi identitas kita, peran kita, pola relasi kita dengan kaum kapitalis global, sehingga kita tidak sekadar mengikuti nada yang diskema kaum kapitalis. Apakah dengan keroncong, kita akan menuliskan narasi kehidupan atau eksistensi kita sebagai “nation”?
Terminologi kolonialisme seperti disampaikan oleh Vandana Shiva adalah bahwa, ,”The Old colonialization only took over land. The new colonialization is taking over life itself” dan neo-kolonialisme menjadikan pasar bebas sebagai ujung tombak. Pasar bebas tanpa batas, namun kita seringkali tidak memiliki kesempatan atau peluang untuk bersaing. Dan hal ini sudah diingatkan oleh Chomsky, “freedom without opportunity is a Devil’s gift“.
Cita-cita menduniakan keroncong dan mengeroncongkan dunia bagaimanapun juga merupakan gagasan orisinil untuk menjaga nation yang oleh banyak orang dikatakan merapuh itu. Terus Berjuang!!!