KERONCONG BANGKIT

Bulan Mei, seiring dengan peringatan Kebangkitan Indonesia, kita semua ditantang untuk bisa membangkitkan keroncong. Namun kondisi ini menuntut berbagai prasyarat. Kita tidak bisa berpangku tangan atau hanya sekedar menunggu agar orang lain melakukannya, tetapi sungguh setiap insan pecinta keroncong diharapkan partisipasinya. Disamping partisipasi untuk membangkitkan keroncong, juga diperlukan sudut pandang baru dalam melihat keroncong sehingga tidak terjebak pada mimesis, keroncong asli dan tidak asli, pakem dan tidak pakem dan seterusnya.

Masa Depan Keroncong Dari Toegoe

Keroncong mulai tumbuh di Indonesia kira-kira pada pertengahan abad ke-17 di Kampung Toegoe Jakarta Utara. Dari Kampung ini pula masa depan keroncong kini akan nampak bersinar terang. The Mardijkers Junior, nama group keroncong yang terdiri dari anak-anak dibentuk oleh Seniornya. Munculnya The Mardijkers Jr. Membawa harapan dan angin segar, sekaligus menepis dugaan orang bahwa keroncong kelak hanya akan dinikmati di museum.

The Mardijkers Jr lahir pada Tanggal 5 Oktober 2008. Meski belum genap 3 tahun namun kiprah dalam ikut melestarikan dan menghidupkan keroncong di tanah air sungguh nyata. Sudah tak terhitung berapa kali The Mardijkers tampil, baik di acara keluarga, keagamaan, acara pemerintahan, hingga tampil di depan Presiden RI di kediamannya.

Dari Surabaya Keroncong Masuk Kurikulum Sekolah

Kabar lebih menggembirakan muncul di Surabaya melalui SMP Santa Maria. Sekolah Santa Maria memasukan keroncong ke dalam kurikulum sekolah.Tak hanya itu, untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan pelajarnya, SMP Santa Maria melakukan banyak gebrakan dengan membuat konser keroncong, seminar keroncong, lomba keroncong, yang juga dihadiri oleh para buaya keroncong.

Kusdinarto, guru SMP Santa Maria, mengatakan bahwa satu-satunya cara sekolah menyelamatkan musik keroncong adalah memasukkan keroncong ke dalam kurikulum sekolah sejak 2008. Ini agar para siswa terbiasa mendengarkan dan memainkan musik keroncong. Dus, anak muda punya alternatif musik selain industri pop yang terus menggelontor musik pop, dangdut, rock, disco, R&B, dan sebagainya.

“Selama ini musik keroncong hanya dinikmati oleh orang tua,” kata Pak Kus.

Menurut dia, SMP Santa Maria sangat serius mempelajari musik keroncong yang disebut-sebut sebagai salah satu aset budaya bangsa Indonesia. Siswa-siswa dibimbing oleh guru seni musik. “Kami juga mendatangkan ahli-ahli keroncong,” kata Pak Kus.

Persoalannya memang tidak sederhana. Kenapa? Di Surabaya ini ada ratusan, bahkan ribuan, guru musik klasik–apalagi pop dan dangdut yang tidak perlu guru–sementara guru keroncong sangat-sangat sedikit. Padahal, orkes keroncong itu harus ada sedikitnya tujuh macam alat musik seperti flute, biola, cak, cuk, cello, gitar, bas.
Teknik vokal keroncong yang pakai cengkok khas–dan ini lebih mudah dikuasai orang Jawa ketimbang luar Jawa seperti Flores atau Batak–pun tidak mudah diajarkan.  Tapi  pada bulan Januari tahun ini Santa Maria berani mengadakan lomba paduan suara keroncong tingkat nasional untuk siswa SMP. Tidak hanya itu, pada hari yang sama, lomba paduan suara keroncong tingkat SD se-Jawa Timur pun sukses digelar. Keberanian melakukan terobosan dalam upaya edukasi budaya, utamanya musik keroncong, dengan mengabaikan batas-batas geografis dan melibatkan anak-anak sejak usia yang sangat belia seperti yang dilakukan oleh Santa Maria ini sangat layak diapresiasi. Geliat keroncong yang demikian besar di SMP Santa Maria Surabaya tak dapat dilepaskan dari kepedulian Sr Windhi yang begitu mendalam, sebagai Kepala Sekolahnya.

Lampung Membawa Harapan Baru

Keroncong Goes To Lampung beberapa waktu yang lalu juga memberikan kabar gembira. Seorang gadis siswa SMP bernama Tri Wahyu mampu memberikan penampilan dan suara yang mempesona. Meski hanya baru kali pertama ia belajar bermain keroncong penonton dibuat kagum mendengarkan alunan merdu Tri Wahyu. Tampaknya insan keroncong Lampung yang menjadi peserta coaching (diberikan sebelum acara pementasan musik) melihatnya sebagai perwujudan harapan keberlangsungan siklus hidup keroncong. Sebagaimana Confusius menyatakan A journey of a thousand miles starts with a single step. Langkah pertama keroncong di Lampung telah dimulai.

Belajar Keroncong di Bentara Budaya Jakarta

“Sekarang saya mau Tanya, Bengawan Solo itu lagu apa?”

Pertanyaan yang dilontarkan Ages Dwiharso yang saat itu memandu acara  Tjroengperiment di Bentara Budaya Jakarta awal Mei lalu disambut penonton dengan berbagai jawaban. Pancingan Ages rupanya dilakukan untuk menguji kedalaman  pemahaman publik tentang musik keroncong. Hasil proses testing the water tersebut dapat dianggap mewakili potret pemahaman publik secara umum mengenai genre musik keroncong. Tidak banyak yang tahu bahwa Bengawan Solo adalah lagu berirama keroncong jenis langgam. Cukup beralasan  kalau Yayasan Pecinta Keroncong Tjroeng (YPKT) yang bekerja sama dengan Bentara Budaya Jakarta merancang acara pementasan keroncong  dalam format pementasan edukatif.

Menyadari bahwa publik secara umum tidak begitu memahami keroncong, Ages DH pimpinan OK Batavia Mood memaparkan dengan bahasa yang mudah dipahami hal-hal terkait keroncong seperti jenis-jenis lagu dalam genre musik keroncong, alat-alat musik keroncong, sedikit mengenai sejarah keroncong sekaligus meluruskan berbagai hal yang selama ini salah kaprah di masyarakat. Terbukti paparan tersebut dapat memandu penonton untuk mengapresiasi dan lebih menikmati pertunjukkan.

Ternyata ungkapan tak kenal maka tak sayang, meski klise terbukti benar adanya. Pelaku seni musik keroncong banyak yang melupakan upaya pendidikan publik. Padahal keberlangsungan musik ini ditentukan oleh publik yang masih mau menikmatinya. Layaknya lahan yang tidak dirawat dan dipupuk, pasar keroncong kering dan gersang karena tidak ada upaya untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap seni musik ini. Apa yang didapat dari pementasan Tjroengperiment selayaknya jadi titik pijak penguatan upaya edukasi publik untuk keroncong.

Pendidikan : Jalan Terjal Kebangkitan

Pendidikan diyakini sebagai wahana paling baik dalam proses transfer ilmu dan ketrampilan. Melalui pendidikan diharapkan ilmu bisa semakin berkembang. Momentum Hari Pendidikan pada tanggal 2 Mei menjadi titik pijak yang kokoh terkait upaya membangkitkan keroncong. Namun demikian, institusi pendidikan yang ada sampai saat ini praktis tidak memberi ruang bagi pengembangan bakat seni, khususnya seni musik keroncong.

Nasib musik keroncong pada saat ini sedang pada tahap dasar, di mana ia harus menempuh perjalanan panjang dan terjal untuk mencapai kebangkitan sejati. Kebangkitan keroncong sekaligus menemukan kebangkitan nasional yang hakiki. Kreativitas pelaku seni dan penggiat keroncong adalah hal yang niscaya dilakukan. Insan keroncong harus dengan besar hati mengakui bahwa meskipun di masa lalu keroncong memberikan kontribusi riil mulai dari hal yang sangat pragmatis (di bidang ekonomi) sampai ke hal yang bersifat spiritual yaitu saat keroncong mengiringi perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, namun saat ini keroncong yang ditempatkan sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan masih menjadi beban bagi negara. Belajar dari sejarah, ada banyak hal yang mestinya dapat ditawarkan keroncong untuk negeri ini. Ada begitu banyak potensi dalam genre musik keroncong yang unik ini untuk dieksplorasi, dielaborasi, dikolaborasikan dengan hal-hal lain di antaranya namun tak terbatas pada genre musik lain. Kreativitas! Inilah kata kunci bagi kebangkitan keroncong di masa kini. Dengan kreativitas potensi keroncong dapat digali dan dikembangkan, memperkaya budaya dan kepribadian kita, menguatkan Indonesia. (Tim Tjroeng)

Please follow and like us:

tjroeng

Tjroeng Admin

4 thoughts on “KERONCONG BANGKIT

  • January 9, 2012 at 11:44 pm
    Permalink

    Instrument flute sedikit berbeda dengan instrument biola. Perbedaan yang paling esensi adalah, bahwa flute tidak bisa bermain dengan teknik portamento, karena secara organologi jarak nada ‘kromatis’ dibedakan dengan system ‘klep’, dengan katup-katup yang membuat perbedaan nada dengan jarak setengah. Sedangkan instrument biola, perbedaan nada berdasarkan jari yang memijat snar diatas papan yang tidak ada penyekat nadanya (fret) speerti instrument gitar. Untuk pembawaan nggandul, cengkok, dan gregel pada prinsipnya sama. Ciri permainan instrument flute dalam musik keroncong yang cukup spesifik adalah pada tempat-tempat tertentu perpindahan dari satu nada ke nada berikutnya (biasanya diakhir frase) dimainkan dengan teknik kromatis. Misalnya dari nada ‘la’ turun menuju nada ‘mi’ tidak langsung, tetapi melewati nada-nada kromatisnya: la-sel-sol-fi-fa-mi.

  • January 25, 2012 at 2:07 pm
    Permalink

    Tetapi kandungan yang dibawa dari musik keroncong itu sendiri juga membawa pesan moral dan perjuangan nilai luhur budaya bangsa.

  • May 9, 2012 at 6:10 pm
    Permalink

    Instrument flute sedikit berbeda dengan instrument biola. Perbedaan yang paling esensi adalah, bahwa flute tidak bisa bermain dengan teknik portamento, karena secara organologi jarak nada ‘kromatis’ dibedakan dengan system ‘klep’, dengan katup-katup yang membuat perbedaan nada dengan jarak setengah. Sedangkan instrument biola, perbedaan nada berdasarkan jari yang memijat snar diatas papan yang tidak ada penyekat nadanya (fret) speerti instrument gitar. Untuk pembawaan nggandul, cengkok, dan gregel pada prinsipnya sama. Ciri permainan instrument flute dalam musik keroncong yang cukup spesifik adalah pada tempat-tempat tertentu perpindahan dari satu nada ke nada berikutnya (biasanya diakhir frase) dimainkan dengan teknik kromatis. Misalnya dari nada ‘la’ turun menuju nada ‘mi’ tidak langsung, tetapi melewati nada-nada kromatisnya: la-sel-sol-fi-fa-mi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial