MUSIK KERONCONG… BRAVO!!!:

KOMUNITAS SUBKULTUR DAN PLURALISME DALAM MUSIK POPULER DI INDONESIA


Musik keroncong dapat dipandang sebagai salah satu kekayaan musik tertua di Indonesia yang pernah memperoleh masa kejayaannya pada 1960-an. Sayangnya, saat ini genre musik ini kurang mendapat perhatian dari industri musik (rekaman dan hiburan) di Indonesia. Media teknologi, seperti televisi dan radio swasta nasional, sangat jarang bahkan tidak pernah memberikan ruang khusus untuk genre musik ini. Bahkan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai salah satu media pemerintah, yang seharusnya mendukung kelestarian musik keroncong sebagai salah satu kekayaan kesenian asli Indonesia, hanya memberikan satu acara khusus untuk musik keroncong, yaitu Gebyar Keroncong, yang hanya disiarkan satu kali dalam seminggu.

Upaya mempertahankan musik keroncong dalam masyarakat juga tetap dilakukan oleh komunitas pendukungnya. Adanya beberapa album rekaman penyanyi keroncong, misalnya Sundari Sukotjo yang didukung oleh perusahaan rekaman PT. Gema Nada Pertiwi, merupakan salah satu fakta bahwa masih ada usaha dari pihak industri musik rekaman untuk tetap mendukung keberadaan musik keroncong di Indonesia. Sayangnya, apabila kita perhatikan di toko-toko kaset/CD/VCD/DVD, album-album rekaman tersebut seringkali diletakkan di tempat yang kurang menarik perhatian pengunjung, berbeda dari penempatan album-album rekaman musik pop yang merupakan arus utama (mainstream) dalam musik populer. Kurangnya dukungan industri musik di Indonesia semakin jelas terlihat dalam daftar calon penerima penghargaan AMI Awards ke-11 (Kompas, 15 April 2008), misalnya, di mana tidak ada satu pun lagu atau nama penyanyi keroncong yang tercantum di dalamnya. Berdasarkan kenyataan ini maka timbul pertanyaan: apakah lagu atau penyanyi keroncong memang tidak layak menerima penghargaan seperti itu? mengapa musik atau lagu keroncong dimarjinalkan oleh industri musik di Indonesia? apakah musik keroncong dapat memperoleh apresiasi masyarakat seperti halnya musik pop yang saat ini menjadi arus utama (mainstream) dalam musik populer?

Ketiga pertanyaan di atas membutuhkan suatu pemahaman mendalam bahwa musik, sebagai salah satu aspek kebudayaan, memiliki keterkaitan yang erat dengan teknologi, ekonomi, sosial budaya, dan juga kekuatan politik atau ideologis (Kaemmer, 1993). Simon Frith dalam bukunya The Sociology of Rock (1978) pernah mengutip pernyataan Manfred Mann bahwa kekuasaan musik populer berasal dari popularitasnya. Musik menjadi suatu budaya massa dengan memasuki suatu kesadaran massa, dengan didengar secara simultan melalui radio dan media teknologi, atau di pub dan café. Musik massa adalah musik yang direkam. Rekaman musik yang tidak dijual mengakibatkan rekaman tersebut tidak populer sehingga tidak dapat memasuki kesadaran massa (mass consciousness), apa pun bentuk artistik, otentisitas dan daya tarik khusus musik tersebut. Kritikus budaya massa menegaskan bahwa pihak yang mengawasi pasar juga akan mengawasi makna. Mereka juga mengargumentasikan bahwa konsumen pendengar tidak berperan dalam kreasi kultural, bahkan pilihan-pilihan mereka pun dimanipulasi dan dibatasi.

Pernyataan di atas secara jelas memperlihatkan adanya hegemoni pihak elit kekuasaan politik-ekonomi yang mendominasi industri musik dalam mempengaruhi dan mengawasi selera masyarakat terhadap musik (Lockard, 1998; Shuker, 2006). Aspek terpenting dari hegemoni adalah bahwa hegemoni menyembunyikan relasi-relasi kekuasaan dan tatanan sosial yang ada (Shuker, 2006). Gagasan-gagasan dan aturan-aturan tertentu dikonstruksi sebagai sesuatu yang dapat diterima secara alami dan universal. Salah satu pihak elit kekuasaan adalah pihak kapitalis yang menguasai industri musik (rekaman maupun hiburan) dan media cetak. Usaha yang dilakukan pihak kapitalis adalah membentuk selera ’pasar’ atau mengeksploitasi selera publik, misalnya ‘apa yang dikonsumsi publik akan menentukan apa yang diproduksi’ dalam tujuan untuk memperoleh keuntungan maksimal (Frith, 1981; Middleton dalam Coates, 2005). Oleh karena itu, tidaklah heran apabila Bourdieu dalam bukunya Distinction (1984) mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan pada beberapa ilmuwan sosial yang berpikir bahwa musik sangat tepat dikaji sebagai suatu karakter ’selera’ dan ’konsumsi budaya’ karena musik melibatkan pilihan atas penggunaan waktu dan sumber.

Keterkaitan musik dengan kekuatan politik atau ideologis tampak pada usaha pihak kapitalis untuk mendominasi masyarakat secara terus-menerus, mengelaborasi, dan memasukkan ideologi mereka atas musik populer ke dalam praktik dan perspektif masyarakat sehari-hari melalui media elektronik dan media massa dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimal. Dengan kata lain, untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, pihak kapitalis berusaha untuk memaksimalkan jumlah pendengar dan produk yang dihasilkan harus menarik perhatian seluruh lapisan masyarakat. Hal ini seolah-olah memperlihatkan pengaruh ideologis musik ditentukan oleh apa yang dibutuhkan pasar, yaitu siapa yang mengontrol pasar, makna, dan selanjutnya, respon masyarakat (Coates, 2005).

Namun, apakah kurangnya dukungan industri musik di Indonesia terhadap musik keroncong dapat menghilangkan atau menyebabkan genre musik ini ‘punah’ atau ‘mati’?. Kenyataannya, kurangnya dukungan industri musik tersebut tidak mengurangi semangat komunitas pendukungnya sebagai komunitas subkultur yang memiliki nilai dan keyakinan yang berbeda dari budaya dominan dalam musik populer. Kenyataannya, komunitas pendukung musik keroncong sebagai komunitas subkultur terus meningkatkan upaya mereka untuk melestarikan genre musik ini walaupun komunitas ini berjumlah lebih sedikit apabila dibandingkan dengan komunitas musik pop sebagai arus utama musik populer. Adanya Himpunan Artis dan Musisi Keroncong Republik Indonesia (HAMKRI) di beberapa daerah, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta, merupakan fakta-fakta yang tidak dapat dipungkiri. Fakta meng’geliat’nya musik keroncong juga diramaikan oleh munculnya kelompok-kelompok musik keroncong, seperti O.K. Gita Romantika dan O.K. Rayuan Sukma di Semarang, O.K. Merah Putih di Bandung, dan lain-lain, yang tidak hanya melibatkan para senior dalam musik keroncong, tetapi juga banyak anak muda. Dalam Buletin Tjroeng edisi 07 terdapat artikel Keroncong dalam Kurikulum Sekolah yang memaparkan tentang usaha komunitas ini untuk mensosialisasikan musik keroncong pada generasi muda, khususnya dalam kurikulum sekolah, yang dilakukan oleh SMP Santa Maria, Surabaya pada 7 Februari 2009 melalui kegiatan pementasan dan seminar musik keroncong yang diselenggarakan atas kerjasama OSIS SMP Santa Maria dan KC Tjroeng Perwakilan Surabaya.

Oleh karena itu, tidaklah heran apabila banyak pihak yang berpandangan bahwa musik keroncong tampaknya akan “abadi”, paling tidak itu menjadi impian di kalangan seniman musik dan penggemar musik keroncong di Tanah Air. Namun, sebagaimana produk budaya yang lain, untuk tetap bertahan di tengah pelbagai perubahan zaman, musik keroncong harus terus mengikuti perkembangan. Salah satu upaya mengeksplorasi musik keroncong telah dilakukan oleh salah seorang penyanyi perempuan Indonesia, Nyak Ina Raseuki (Ubiet) dalam albumnya Ubiet Keroncong Tenggara (Ragadi Musik, 2007). Apabila didengarkan secara cermat, gaya bernyanyi yang dilakukan oleh Ubiet dalam menyanyikan lagu-lagu keroncong, khususnya melalui ornamen-ornamen etnik yang ia gunakan, sehingga terdengar berbeda dari umumnya gaya bernyanyi penyanyi keroncong. Hal ini dapat dipahami karena Ubiet bukan hanya penyanyi, tetapi juga seorang etnomusikolog yang menguasai beragam gaya bernyanyi etnik, yang memiliki kesadaran untuk turut melestarikan musik tradisional, termasuk musik keroncong. Mengenai perubahan-perubahan yang dilakukan dalam musik keroncong, seorang etnomusikolog, Prof Dr Rahayu Supanggah dari Institut Seni Indonesia Solo, menyatakan bahwa sebagai musik modern, keroncong akan terus berkembang selama para senimannya mampu mengolah. Supanggah mengemukakan, “keroncong itu ibarat wadah. Yang penting bagaimana para komponis mengolah isinya. Kalau hanya terpatok keroncong asli, itu berarti membatasi diri pada wadah saja. Karena itu, untuk bisa tetap bertahan, keroncong harus senantiasa mengikuti zaman yang terus berubah,” katanya (Kompas, Sabtu, 13 Desember 2008).

Bagaimana pandangan kita atas kenyataan tentang masih adanya komunitas subkultur yang mendukung dan adanya eksplorasi yang dilakukan oleh beberapa musisi dalam musik keroncong?

Perlu dipahami bahwa musik keroncong berhubungan erat dengan identitas komunitas subkultur dalam masyarakat populer di Indonesia. Kaemmer dalam bukunya Music in Human Life: Anthropological Perspectives on Music (1993) pernah mengemukakan bahwa musik seringkali digunakan untuk membentuk dan mempertahankan identitas kelompok. Identitas suatu kelompok meliputi indikasi batas-batas yang memisahkan satu kelompok dari kelompok yang lain dan memperkuat solidaritas di dalam kelompok tertentu. Pernyataan Kaemmer tersebut didukung oleh hasil penelitian Abner Cohen (dalam Kaemmer, 1993) yang juga menyatakan bahwa terdapat beberapa kelompok subkultur yang menggunakan musik secara informal sebagai simbol atas keberadaan mereka. Perubahan yang dilakukan dalam musik keroncong dapat dipahami untuk mempertahankan identitas komunitas subkultur tersebut. Upaya yang dilakukan anggota dari komunitas subkultur untuk melestarikan musik keroncong ini sesuai dengan pernyataan Suka Hardjana dalam bukunya Musik: Antara Kritik dan Apresiasi (Kompas, 2004) bahwa spirit budaya (tradisional) tak akan pernah terbunuh. Spirit itu akan terus tumbuh dalam suatu proses budaya yang terus-menerus dalam bentuk konvensi, transformasi, konflik, inovasi, bahkan anarki, dan sebagainya. Kesinambungan proses inilah yang membuat kesenian tradisional tersebut selalu menemukan nilai-nilai barunya. Ia hadir bukan sebagai barang antik kehidupan modern, tetapi sebagai cermin proses sejarah dan sebagai roh tindak laku kontemporer.

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa musik populer tidak selalu identik dengan genre musik pop yang menjadi arus utama pada saat ini. Middleton (2006) bahkan menegaskan bahwa tidak ada musik populer yang murni. Yang ada adalah musik yang dihasilkan oleh suara masyarakat yang selalu bersifat plural, hibrid, dan dinegosiasikan. Musik populer tidak hanya mengindikasikan satu jenis musik saja, tetapi mencakup wilayah jenis musik yang sangat luas, yang tidak hanya mencakup musik rock dan genre-genre musik yang sebanding, tetapi juga musik yang berhubungan dengan konteks nasional yang bukan musik Barat, seperti seriosa, kontemporer, tradisional, keroncong, dangdut, campursari yang masing-masing memiliki komunitas pendukungnya sendiri. Hegemoni pihak kapitalis dalam menentukan selera masyarakat terhadap musik yang ‘populer’ bukan berarti tidak menghadapi tantangan dari komunitas-komunitas subkultur yang mendukung genre musik tertentu. Dengan kata lain, hegemoni tidak pernah bersifat absolut, tetapi terus-menerus ditentang dan diredefinisikan. Hegemoni merupakan suatu proses, yang tidak hadir secara pasif sebagai suatu bentuk dominansi yang tidak dapat dihilangkan, tetapi harus terus-menerus diperbaharui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi karena hegemoni juga akan terus-menerus ditolak, dibatasi, diubah, dan ditentang oleh hegemoni tandingan (counterhegemony). Pada waktunya, musik keroncong dapat diapresiasi oleh masyarakat dan industri musik atau memperoleh kembali kebanggaannya yang pernah terjadi pada 1960-an sebagai ’buah manis’ yang dipetik oleh komunitas subkultur atas usaha keras yang mereka lakukan. Mungkin saja… Wallahua’lam.. Bukankah pluralisme juga berlaku dalam musik? Dengan kata lain, setiap genre musik dalam musik populer memiliki hak yang sama untuk dihargai atau diapresiasi oleh masyarakat dan pihak elit kekuasaan yang mendominasi industri musik di Indonesia. Kondisi ini tentu saja dapat terwujud oleh upaya yang terus-menerus dilakukan oleh komunitas keroncong di mana pun berada dan tidak mengenal kata istirahat. Lirik lagu yang dinyanyikan Mbah Surip (alm.) di bawah ini tidak akan sesuai dengan semangat yang harus dimiliki oleh setiap anggota komunitas keroncong yang bertujuan agar genre musik ini memperoleh apresiasi dari masyarakat, seperti halnya musik pop.

Bangun lagi….

Tidur lagi…

Bangun lagi…

Tidur lagi…

Bangun……..

Tidur lagi……

Potongan dari lirik lagu Garuda Pancasila mungkin dapat kita gunakan untuk memberi semangat dan mendukung tindakan para anggota komunitas keroncong untuk terus meningkatkan upaya mereka dalam memajukan musik keroncong.

Ayo maju….maju…

Ayo maju….maju…

Ayo maju….maju…!!!!

Musik Keroncong…… Bravo!!!!

Jakarta, 10 Oktober 2009-10-10

Susi Gustina

Mahasiswa S3 – Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Please follow and like us:

tjroeng

Tjroeng Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial