Keroncong, Musik Tanpa Tali Pocong.


Gelaran Lesehan Keroncong Asli yang mengusung tema Doea Orkes Keroncong di Boelan Doeabelas, 16 Desember 2008, di Taman Budaya Jawa Tengah, adalah secuil bukti bahwa musik keroncong masih layak untuk diperjuangkan. Acara ini juga merupakan wujud apresiasi pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terhadap ajal musik keroncong.

Tak bisa dipungkiri, kenyataan yang terjadi saat ini memang demikian. Musik keroncong sudah dianggap musik yang hanya ‘pantas’ dinikmati oleh kaum tua. Diukur dari usia mereka tentunya. Musik keroncong hanya tinggal lembaran-lembaran sejarah. Dimana tiap lembarnya menyisakan kejayaan masa lalu yang perlahan namun pasti direnggut oleh westernisasi di bidang musik. Generasi tua sekarang ini masih menjadi pemuda pemudi gagah yang selalu mengibarkan bendera keroncong. Dulu.

Yang cukup menarik adalah penulisan ejaan lama yang masih dipergunakan dalam judul gelaran ini. Ejaan ‘u’ ditulis ‘oe’. Ejaan yang sudah jarang digunakan lagi pada era sekarang. Hal ini semakin menunjukkan adanya keinginan kuat dari pejuang keroncong untuk merebut kembali kejayaan masa lalu yang sempat diraih. Kejayaan yang diharapkan juga bisa dinikmati oleh anak-anak mereka, anak teman mereka, anak cucu mereka, bahkan anak cucu Negara tetangga.

Sedikit, dua kelompok penyaji malam itu mencoba menunjukan bagaimana perjuangan mereka. Tingginya apresiasi terhadap musik keroncong dengan semangat bertahan yang kuat. OK Sapta Pesona, Klaten dan OK Senandung Rindu, Solo berhasil menyajikan nomor-nomor lagu keroncong asli, stambul dan langgam dengan apik. Saudara seperjuangan ini masih sama-sama berusia muda. OK Sapta Pesona berdiri tahun 2003 dan OK Senandung Rindu tahun 2008. Tidak ada persaingan malam itu. Kerjasama yang cukup solid.

Kelembutan dan ketenangan dalam bermusik masih terasa malam itu. Karakter musik keroncong masih melekat. Tampilan penyanyi wanita bersanggul terbalut oleh kebaya nan eksotik. Para penonton yang memang rata-rata berusia ‘kakek-nenek’ dengan seksama menikmati alunan merdu musik keroncong. Konsep lesehan berhasil membuat penonton ber-lesehan-ria ditemani makanan minuman yang dijajakan di tengah-tengah mereka. Cuaca dingin yang bergelayut sejak sore tidak menghentikan pertemuan antara pejuang dan simpatisan keroncong malam itu. Guyuran hujan bukan hambatan yang berarti. Kampanye harta warisan bangsa yang hampir tertinggal rupanya.

Derasnya serangan budaya musik popular tidak lantas membuat semangat gerilyawan keroncong melemah. Tidak bisa dipungkiri memang, budaya musik popular berhasil mencuri perhatian generasi muda. Keroncong hanya sebatas wacana. Wacana yang tertinggal jauh di belakang musik popular. Tidak ada gerakan yang berarti dari generasi muda untuk turut serta melanggengkan kejayaan musik keroncong. Lebih memilih yang populer dan ngetrend.

Bondan and Fade 2 Black adalah sedikit gambaran dari generasi muda yang ‘peduli’ terhadap musik keroncong. Lewat tembang Keroncong Protol, mereka berhasil mengangkat idiom musik keroncong ke dalam musik rap. Yang perlu dipertanyakan adalah saat-saat dimana musik keroncong berhasil ‘menjelma’ menjadi musik popular untuk sesaat. Ternyata musik keroncong mengalami nasib yang sama dengan musik-musik popular. Berjaya sebentar lalu menghilang ditelan permintaan pasar. Analogi yang bisa dipakai adalah adakah lagu dari musik popular yang berhasil mensejajarkan diri dengan Bengawan Solo milik Gesang? Lantas muncul pertanyaan lain, seberapa besar apresiasi generasi muda terhadap satu bentuk perubahan sesaat ini. Tidakkah faktor kepopuleran grup Bondan and Fade 2 Black juga memiliki andil.

Dari kalangan keroncong sendiri juga mengalami kemandulan lagu. Produktivitas mereka tidak seperti di jaman-jaman keemasan mereka dulu. Jika memang tekanan-tekanan penjajah di masa itu adalah faktor utama kemunculan musik keroncong, bukankah di jaman sekarang tekanan itu juga datang secara besar-besaran dan membabi buta. Militan-militan musik popular sudah sedemikian rupa mengambil alih media-media informasi. Hampir di setiap stasiun televisi menyiarkan acara berlatar belakang musik popular. Lagu-lagu keroncong yang ada sekarang adalah peninggalan lagu-lagu keroncong jaman dulu.

Wacana aktual semacam ini bisa dijadikan gambaran betapa sebenarnya masyarakat kita masih terpecah belah secara budaya. Rahmah tamah menyambut musik-musik popular berakibat kurang baik terhadap kehidupan musik-musik yang lebih dulu tinggal di Indonesia. Seperti kedatangan tentara Belanda yang disambut baik oleh rakyat Indonesia tapi berujung pada penderitaan yang berkepanjangan.

Perbedaan prinsip antara yang tua dan muda pun menjadi kendala tersendiri. Yang muda selalu segera ingin mengadakan perubahan, yang tua ingin melakukannya perlahan-lahan. Justru dengan keadaan musik keroncong seperti sekarang ini bisa saja musik keroncong menjadi sesuatu yang unik. Musik yang berkarakter dan memiliki perfomance yang berkarakter pula. Penuh ketenangan dan tidak ada riuh penonton yang berlebih. Hanya tepuk tangan biasa tanda kenikmatan mendalam. Keroncong bukanlah merupakan pertunjukan yang akan mengubah penonton menjadi pocong, bahkan disaat musik keroncong hampir menjadi pocong.

Didik Wahyu Kurniawan

Mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta

04112101

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial