Hasta el Cielo
”Sampai jumpa di surga,” begitu yang disampaikan oleh Ignacio Ellacuria kepada ibunya saat ia hendak pergi bertugas ke El Salvador. Ia meninggalkan sanak saudara untuk menapak tanah baru, di mana ia harus menjalankan tugas, atas dasar pilihan hidupnya sendiri. Bekerja pada kondisi ini menjadi sebuah panggilan. Vocation.
Dan benar, dalam menjalankan tugas yang menjadi pilihan hidupnya, Ignacio Ellacuria menemu ajal akibat dibantai oleh militer El Salvador di tahun 1989.
Menyimak perjalanan hidup Ignacio Ellacuria, dalam kaitan dengan perjuangan pegiat keroncong sesungguhnya kita bisa belajar. Tidak sedikit dari pegiat keroncong menjadikan musik keroncong sebagai panggilan jiwa hidupnya. Dan dalam kancah musik keroncong ini, seluruh hidupnya ditumpahkan. Ada yang berhasil secara finansial, dan ada pula yang terseok-seok.
Ukuran finansial bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam melihat suatu keberhasilan, karena ada begitu banyak aspek yang harus dilihat dalam melihat keberhasilan itu sendiri. Sosok Warsidi (Tjroeng edisi pertama) menyiratkan bahwa totalitas hidupnya kepada keroncong adalah 100%, betapa pun sulit dan sepinya kehidupan yang dijalani. Gairah hidup berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk ‘syiar’ keroncong membuat Warsidi bertahan hidup dan tetap terjaga dari gelombang konsumerisme yang memporakporandakan nilai-nilai lokalitas. Juga sosok Opa Hans Reinard Loen (Tjroeng edisi kedua), jiwa keroncong yang tumbuh di dalam dirinya tak lekang oleh waktu. Group keroncong bisa bubar karena perbedaan visi masing-masing anggota, namun roh tidak pernah mati. Kedua pegiat keroncong ini, adalah potret kebersahajaan dunia keroncong.
Pada kondisi lain, gerakan perlawanan atas globalisasi ekonomi yang dirasakan sebagai akar persoalan krisis berbangsa disikapi dengan munculnya gerakan budaya lokal dan itu bersinggungan erat dengan musik keroncong. OK Sinten Remen, The Produk Gagal, Kornchonk Chaos dan masih banyak lagi kelompok musik yang mengusung berbagai genre keroncong, mencoba memberikan tawaran dan alternatif, mengusung keroncong asli sebagai bentuk perlawanan atau membaurkannya sebagai bentuk kompromi. Tidak ada yang buruk dalam hal ini, karena hal tersebut dilakukan untuk memasukkan lokalitas budaya pada lintasan dan laju perubahan yang maha dahsyat ini.
Pilihan dan juga panggilan pada musik keroncong tidak berbeda dengan banyak orang yang memilih jalur musik rock, pop, dangdut dan lain sebagainya. Tidak berbeda juga dengan pilihan orang pada pekerjaan sebagai pegawai, polisi, tentara atau pun pengusaha. Yang menjadi ukuran pada akhirnya sampai sejauhmana pilihan hidup itu dilaksanakan dan dikerjakan secara total. Menjadi pemusik diukur sejauhmana ia menghasilkan karya musik, menjadi pengusaha diukur sebagau banyak produk berkualitas yag dihasilkan, menjadi tentara diukur sejauhmana ia melaksanakan tugas bela negara. Tentu tidak bisa secara sepihak penjadi pemusik diukur seberapa banyak uang yang dihasilkan dari pekerjaan dia memainkan alat musik, demikian juga menjadi pengusaha tidak bisa secara sepihak diukur banyaknya uang yang didapatkan meski dengan jalan memproduksi barang yang sama sekali tidak berkualitas, sama halnya tentara tidak bisa diukur secara sepihak dari banyaknya uang yang didapatkan.
Aspek finansial memang tidak selayaknya dijadikan ukuran utama dari sebuah pilihan hidup. Karena uang hanyalah melulu sarana, bukan tujuan hidup. Beberapa sosok pegiat keroncong berhasil dalam pencapaian hidupnya. Kebersahajaan semacam mBah Gesang, Opa Hans Reinard Loen, mBah Warsidi, Oom Toto Salmon dan masih banyak yang lain sesuai dengan kebersahajaan musik keroncong, mencoba tidak tergerus gelombang liar globalisasi ekonomi.
Para Samurai memilih jalan pedang. mBah Warsidi, Opa Hans, mbah Gesang, mBah Andjar Any dan lain sebagainya memilih jalan keroncong. Ujian atas pilihan hidup ini hanya akan bisa dilihat kelak.
(mboets)