Mencari Pahlawan Keroncong

“Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan  sejarah”, tetapi saya tambah : “Never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu.
Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi dari pada hasil semua perjuangan kita di masa lampau.”
(Soekarno, 17 Agustus 1966)

Sebuah seruan yang mencoba untuk terus mengingatkan, bahwa masa lalu merupakan sejarah yang tak bisa dilupakan. Bahkan, Soekarno melanjutkan, “Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.”

Sejarah. Keroncong adalah sejarah. Bukan sejarah yang mati, melainkan sejarah yang terus bertahan hidup melalui karya yang abadi serta yang terus lahir sebagai akibat proses kreativitas pecintanya. Sebab sangat disadari keroncong merupakan asset bangsa yang menyatukan aspek kewilayahan Nusantara. Setidaknya, melalui musik keroncong berikut lirik-lirik yang mengisinya menjadi mesin penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia, disamping sebagai musik penghibur.

Dalam kurun waktu lebih dari 300 tahun selepas lahirnya irama keroncong,  tentu para penggerak keroncong memiliki kontribusi yang berbeda-beda, ada yang berkontribusi alakadarnya, ada pula yang secara intensif, ada yang bertutur kepedihan diri, dan ada pula yang secara tegas memberikan penguatan dan penyadaran bagi masyarakat, seluruhnya melalui keroncong.

Pahlawan Keroncong : Siapa Dia?

Milton Agustino, salah satu pegiat keroncong dari komunitas KrontjongToegoe menyatakan bahwa di saat kita mencari sosok pahlawan keroncong, maka ia adalah “orang – orang yg mampu dan mau mengabdikan dirinya, mengorbankan waktu, materi dan pemikirannya untuk melestarikan dan mengembangkan musik keroncong tanpa memandang materi dan popularitas sebagian tujuan akhir”. Tino, begitu sapaannya memberikan penjelasan bahwa materi dan popularitas bukanlah tujuan, melainkan akibat dari sebuah aktivitas berkeroncong yang dilakukannya.

Senada dengan Tino, Pambuko menyatakan, “Pahlawan keroncong adalah orang yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap musik keroncong. Bentuk dedikasi tidak selalu harus menjadi praktisi, tetapi dengan menjadi apresiator, pengamat, kritikus, itupun sudah merupakan pengabdian batin untuk musik keroncong”

Menutup pembicaraannya, Tino memberikan pernyataan, “Tulus berjuang bahkan melawan arus sesuai dengan talenta yang dimiliki masing-masing, mampu menginspirasi orang-orang di sekitarnya dengan karya, tidak mengenal kata menyerah walaupun kadang caci maki dialamatkan kepada dirinya. Dan selalu tetap rendah hati meski jutaan pujian dialamatkan kepadanya, serta mampu mengesampingkan ego demi kesatuan dan kemajuan musik keroncong.”

Pambuko memberikan sebuah tawaran tentang definisi pahlawan keroncong,  yaitu seseorang dikatakan Pahlawan Keroncong jika : 1) berkarya (membuat lagu-lagu Keroncong) sebagai bentuk eksistensi pada dunia keroncong; 2) Meneruskan dan memberikan pengetahuan tentang musik keroncong entah secara kognitif maupun psikomotorik kepada masyarakat luas (masyarakat, siswa, sanggar-sanggar); 3) Memiliki kuantitas eksistensi (berkelanjutan); dan  4)  Mampu memberikan sebuah opini tentang musik keroncong sehingga musik keroncong bisa mendapatkan sebuah pengakuan dari lingkungan setempat (lokal) ataupun lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Keluar Pakem : Pengkhianat?

Di tengah maraknya aliran musik yang semakin beragam, keroncong masih tetap eksis. Namun seperti bisa diduga, banyak generasi muda yang sudah tidak lagi lekat dengan keroncong, bahkan tidak mengenalnya. Di sisi lain, cukup banyak pegiat keroncong yang fanatik atas pakem musik keroncong, stambul, keroncong dan langgam.
Kondisi tersebut menciptakan tegangan yang sangat besar. Pertama, generasi muda yang tidak mengenal keroncong lebih banyak kenal dengan irama pop, rock, dangdut, dangdut koplo, blues, jazz, trash dan banyak aliran lain, yang akibatnya keroncong tidak lagi pilihan; Kedua, para pemuja keroncong klasik akan ‘menghujat’ bila ada pemusik yang sok bergaya keroncong. Tegangan tersebut tentu akan semakin mengeroposkan perjuangan keroncong itu sendiri untuk mewarnai dunia.

Seorang Agustin Mayangsari misalnya, sebagai ibu rumah tangga sekaligus pegiat keroncong tidak lelah berjuang untuk keroncong sebagai kesenian asli Indonesia. “…di tengah maraknya aliran musik baru seperti Campursari, dangdut koplo, dangdut jaranan, seperti saat ini, dan rata-rata kebanyakan suka musik-musik seperti itu, tapi kami juga tidak kehabisan akal kita harus kreatif dan inovatif. Kita buat musik Kroncong model baru tidak melulu klasikan,  seperti misal Congdut, Kroncong Jazz, blues, Congrock. Itu adalah suatu upaya berjuang untuk memajukan Musik Kroncong yg image-nya buat pengiring orang tidur…,” papar Agustine seraya mencoba mengambil jalan tengah di antara kedua tegangan keroncong klasik dengan arus perubahan jaman.

Hal senada disampaikan oleh Djoko Soesanto, mantan Sekjend HAMKRI, bahwa banyak hal yang harus dilakukan agar keroncong bisa menjadi trend-setter bagi generasi mendatang. “Terus menerus memajukan dan mengembangkan keroncong ke lingkup/area yang lebih luas”, yang dapat dimaknai keroncong mampu mewarnai dunia. Maka, inflitrasi keroncong ke dalam berbagai genre music sangat mungkin dilakukan, yang bisa jadi sedikit abai pada pakem yang telah ada. Namun, imbasnya keroncong akan merasuk ke dalam berbagai jenis music lain. Dan tentunya ruh perdamaian keroncong turut bersamanya.
Jika kondisi ini terjadi, keluar dari pakem apakah akan dicap sebagai pengkhianat keroncong?

Menggapai Mimpi

Mimpi keroncong tetap bisa lestari dan berkembang serta menjadi kebanggaan di tanah air dan mampu menembus panggung dunia, adalah mimpi seorang Revy, pegiat keroncong di Trenggalek. Dan sangat pasti, mimpi Revy juga merupakan mimpi banyak orang. Meski mimpi itu pun berada pada dua kutub keroncong klasik (baca: pakem) dan tantangan perubahan jaman.

Maka, pergulatan pemikiran mengenai pahlawan keroncong akan ditatapkan kepada tokoh mitologi Yunani, Sisifus. Melalui Sisifus ini, akankah kita jadikan keroncong sebagai batu beban yang harus dipanggul menuju puncak gunung yang kemudian jatuh kembali ke lembah sebagai siklus yang berulang? Atau keroncong akan menjadi media perjuangan untuk membangun peradaban yang jauh lebih baik lagi?
Jaman terus bergerak, sedemikian juga hendaknya keroncong. Para pegiat keroncong harus berbenah hati dan jiwa, bahwa dengan keroncong kita bisa mengabdikan diri secara lebih besar bagi kepentingan bangsa dan Negara. Untuk menggapai mimpi itu, para pegiat keroncong tidak boleh menjebakkan diri ke dalam takdir seorang Sisifus. Karena kita memiliki takdir kita sendiri, takdir sebagai bangsa Indonesia yang harus memperjuangkan harkat martabatnya sebagai manusia merdeka.

Membaca kembali naskah pidato Soekarno, maka never leave your own history! Sedemikian juga kita tidak akan meninggalkan keroncong sebagai sebuah sejarah yang mati, melainkan membawa keroncong sebagai sejarah yang hidup, yang mengalir dalam darah dan menggerakkan kita untuk terus berjuang. Bersama menjadi pahlawan bangsa dan Negara melalui keroncong. (tjroeng)

Please follow and like us:

tjroeng

Tjroeng Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial