Lagu Bengawan Solo, Sebuah Simbolisasi-emosi

Mengenang sahabat dekatku

Hagiwara Sakutaro (1886-1942) penyair Jepang modern yang terkenal itu dalam “Principles of Poetry” mengatakan bahwa secara teoritis hanya ada tiga macam bentuk presentasi (presentation), yaitu Narration (narasi), Exposition (eksposisi), dan Expression (ekspresi). Narasi adalah uraian tentang peristiwa tertentu seperti misalnya uraian sejarah dalam wacana akademis; eksposisi berkenaan dengan pembuktian dan penafsiran, seperti esei, tulisan ilmiah atau abstraksi, dan uraian dalam studi filsafat. Dengan begitu narasi dan eksposisi pada umumnya dipakai dalam lingkungan keilmuan (ilmiah), tapi tidak untuk seni. Untuk seni hanya bisa dipakai presentasi yang ketiga, yaitu Ekspresi. Tentu, seni dalam arti luas, misalnya kritik sastra, uraiannya juga menggunakan campuran dari elemen-elemen narasi dan eksposisi; tapi dalam karya seni yang murni, yakni seni kreatif, yang digunakan hanya ekspresi semata.

Dalam seni, urai Hagiwara Sakutaro selanjutnya, sekalipun terdapat berbagai bentuk pengungkapan seperti halnya musik, seni rupa, teater, dan sastra, namun dilihat dari segi karakteristiknya dapat dikelompokkan hanya dalam dua bentuk ekspresi. Yang pertama adalah Depiction (depiksi); seni rupa dan novel masuk dalam kelompok ini. Depiksi adalah jenis ekspresi yang mencoba melukiskan “gambaran sebenarnya dari sesuatu (things)” — suatu ungkapan arti atau makna intelek (intellective meaning) yang berasal dari pengamatan kontemplatif (perenungan) dari suatu obyek. Akan tetapi jenis seni yang lainnya, seperti musik, puisi, dan tari tidak mencoba untuk memberikan gambaran dari sesuatu, melainkan utamanya bertujuan untuk mengungkapkan emosi atau perasaan, oleh karenanya seni jenis ini berbeda secara fundamental dengan kelompok seni yang diuraikan sebelumnya. Ekpresi jenis yang kedua ini menyimbolkan makna perasaan (emotive meaning), yang disebut dengan “Emotion-symbolization” (simbolisasi-emosi). Jadi, semua ekspresi (dalam seni) dapat dibagi ke dalam dua jenis: Depiksi dan Simbolisasi-emosi. Kalaupun ada bentuk yang ke-tiga, itu mesti campuran dari ke-dua jenis tersebut, atau di antara ke-duanya.

Demikian kata penyair Hagiwara Sakutaro (HS) dalam bukunya tersebut di atas yang merupakan terjemahan bahasa Inggris dari judul aslinya Shi no Genri. Diterangi oleh uraian Hagiwara Sakutaro itu, mari kita coba menganalisa (mungkin lebih tepat mengomentari) lagu “Bengawan Solo” ciptaan Gesang (1940) itu. Lagu “Bengawan Solo” adalah sebuah simbolisasi-emosi, bukan sebuah narasi. Gesang berbeda dengan misalnya seorang insinyur yang mencatat data pasang-surut air Bengawan Solo untuk keperluan perencanaan pembangunan sebuah bendungan di aliran sungai tersebut. Si insinyur tertarik dengan ukuran, metrik dari data pasang-surut air sungai, berapa meter air itu pasang dan surut secara teratur dalam skala waktu tertentu, harian, bulanan, bahkan tahunan. Dengan kata lain, insinyur mengambil sikap obyektif, melihat obyek Bengawan Solo sebagai obyek. Laporan yang dibuat insinyur tersebut dari hasil observasinya adalah sebuah narasi. Berlawanan dengan insinyur, Gesang melihat Bengawan Solo dengan sikap subyektif. Sikap subyektif adalah menangkap makna dari yang ada (yang terlihat) bukan dengan melihat obyek sebagai obyek, melainkan dengan menyadari keberadaan obyek tersebut dengan perasaan subyektif-nya, serta meleburkannya ke dalam emosi dan sentimen hatinya. Inilah yang dengan bahasa yang sangat sederhana dikatakan Gesang, ketika ditanya bagaimana lagu “Bengawan Solo” itu tercipta:

Pada musim kemarau di tahun 1940, saya melihat Bengawan Solo kering airnya, padahal di musim penghujanairnya berlimpah. Dua keadaan yang sangat berlainan ini memberikan saya suatu kesan yang dalam sekali, bila dihubungkan dengan kehidupan manusia dan alam.

Dimulai dengan senandung saya goreskan pada secarik kertas pembungkus rokok dan terciptalah lagu “Bengawan Solo”.”

Demikian kata Gesang, dalam wawancara dengan PT Gema Nada Pertiwi di Solo, 1 Oktober 1988.

Jawaban atau pengakuan Gesang inilah yang kemudian saya terjemahkan dalam komentar saya yang pertama (28 Oktober 2009) atas artikel Bengawan Solo di website Buletin Tjroeng, sebagai berikut:

Sebenarnya yg diungkapkan Gesang dlm lagu “Bengawan Solo” adalah sebuah nostalgia, suatu kerinduan terhadap ideal, di mana keadaan pasang dan surut berada dalam harmoni. Gesang terkesan oleh “kontras” keadaan air Bengawan Solo di musim kemarau dan musim hujan. Ini dikatakannya sendiri dlm pengantar sebuah CD rekaman lagunya. Kata penyair Jepang terkenal Hagiwara Sakutaro, ‘music is a subjective art, an expression of nostalgia, longing for the non existence.’ Begitulah kurang lebih.”

Komentar saya berikutnya berkenaan dengan artikel “Bengawan Solo” tersebut bisa dibaca di website yang sama, saya tidak akan mengkopinya lagi di sini demi keringkasan dan keserasian artikel; terima kasih.

Drs. Ruslan Kailani

Jakarta, 8 Februari 2010

Please follow and like us:

tjroeng

Tjroeng Admin

One thought on “Lagu Bengawan Solo, Sebuah Simbolisasi-emosi

  • March 9, 2017 at 3:52 pm
    Permalink

    Salam pak Ruslan, bolehkah saya bertanya tentang kata-kata Hagiwara Sakutaro mengenai “music is a subjective art, an expression of nostalgia, longing for the non existence.” diambil dari sumber yang ada dimana ya pak? terimakasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial