GEDUNG KESENIAN YANG (SECARA AKUSTIK) BAIK
Komang Merthayasa *)
Dari namanya semestinya dapat disimpulkan bahwa gedung seperti ini dibangun tentunya dengan tujuan untuk menunjang perkembangan dan peningkatan kualitas kesenian di daerahnya. Jika dilihat dari sisi tujuannya tidak ada yang salah, bahkan dapat dikatakan tujuannya sungguh mulia sekali karena ini menyangkut ‘rasa’ yang dimiliki oleh masyarakat daerah itu di samping juga sebagai wujud apresiasi dan kebanggaan dari sisi pengambil dan penanggung jawab kebijakan yaitu Pemerintah Daerah kepada masyarakatnya. Jika tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan BENAR maka masyarakat di daerah itu akan dapat meng’ekspresi’kan dirinya dalam bentuk kesenian yang khas yang nantinya menjadi ciri dan icon yang bersifat unik. Di masa yang lalu, hal ini pernah terjadi pada saat grup lawak Srimulat sedang berada pada masa jayanya.
Pada kenyataannya, sekarang ini hampir semua Gedung Kesenian yang dimiliki oleh Pemda-Pemda di Indonesia tidak mampu mewujudkan tujuan tersebut (kecuali Gedung Kesenian Jakarta). Karena kegagalan mencapai tujuan itu, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan Gedung Kesenian ‘hanya’ menjadi beban keuangan bagi pemerintah, yang ujung-ujungnya juga menjadi beban bagi masyarakatnya. Hal ini tentunya akan menimbulkan tanda tanya, Kenapa hal itu terjadi?
Pada kesempatan ini, penulis tidak akan berusaha menjawab tanda tanya itu dari sisi keuangan, kebijakan, sosial, budaya atau dari sisi politiknya. Penulis akan menekankan hanya dari salah satu aspek fungsional Gedung Kesenian itu sendiri, yaitu dari sisi akustik-nya. Sisi akustik ini merupakan salah satu aspek terpenting karena menjadi media komunikasi antara seniman denga audiensinya, sehingga seharusnya menjadi ‘roh’ dari keberadaan bangunan ini. Tanpa adanya kondisi yang tepat bagi ‘roh’ ini, bisa dipastikan bahwa fungsi gedung itu tidak akan tercapai. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kondisi akustik yang seharusnya dibuat/dirancang agar terjadi di dalam Gedung Kesenian ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, hal pertama yang mesti diperhatikan adalah kesenian atau seni pertunjukan apakah yang mau dipresentasikan dan dijadikan sebagai ‘icon’ dari daerah tersebut? Hal ini berhubungan dengan cukup lebarnya domain dari bidang seni pertunjukan itu sendiri. Yang paling berwenang untuk menjawab tentunya para budayawan, terutama sekali budayawan seni pertunjukan di daerah itu. Konsultasi dan usulan dari para budayawan daerah itu menjadi salah satu kunci utama pencapaian tujuan didirikannya gedung itu. Di samping itu, diperlukan juga suatu telaah yang cukup mendalam atas potensi seni pertunjukan yang dimiliki oleh daerah itu, misalnya melalui suatu studi kelayakan yang nantinya bermanfaat untuk menunjang keberlangsungannya (sustainability).
Setelah diketahui ‘ciri khas local genius di bidang seni pertunjukan di daerah itu’, selanjutnya perlu dicari karakteristik akustik dari seni musik yang menunjang seni pertunjukan itu sendiri. Berbagai jenis musik, apalagi yang berkarakteristik tradisional, dimiliki oleh bangsa ini, dan seni ini cenderung menghasilkan keunikannya masing-masing. Sebagai contoh, kota Bandung memiliki musik tradisional yang khas, misalnya musik Angklung dan musik Degung. Secara akustik karakteristik musik Angklung tentunya berbeda dengan karakteristik musik Degung. Konsekwensinya, gedung yang sesuai untuk musik Angklung tentunya akan berbeda dengan musik Degung. Dengan kenyataan seperti ini, apakah masing-masing seni musik itu mesti memiliki gedung keseniannya masing-masing? Apabila kualitas akustik menjadi hal utama tentunya setiap jenis seni pertunjukan harus memiliki gedung kesenian yang khusus untuk pagelarannya masing-masing. Tapi tentu ada hal lain yang menjadi pertimbangan yaitu masalah biaya. Untuk mengurangi biaya dapat dicarikan kondisi akustik yang cocok untuk berbagai jenis musik. Tentu saja selama kondisi tersebut masih cukup memadai untuk mendukung kedua jenis musik. Namun harus dipertimbangkan pula bahwa kompromi seperti ini tidak dapat dilakukan karena terlalu besarnya perbedaan karakteristik akustik yang dibutuhkan.
Salah satu dari beberapa komponen akustik yang membedakan tersebut antara lain adalah ‘waktu dengung’ ruangan. Besaran ini sangat tergantung kepada volume ruangan dan jumlah total luas permukaan ruangan dikalikan dengan koefisien penyerapan suara dari masing-masing permukaan ruangan. Makin besar volume ruangan makin panjang waktu dengungnya, namun makin luas volume permukaan ruangan makin kecil waktu dengungnya.
Secara umum, disamping komponen ‘waktu dengung’ terrsebut, kondisi akustik yang baik sangat ditentukan oleh faktor spektral, temporal dan spatial dari medan suara yang didengarkan audiensi. Seluruh komponen itu (beserta turunan parameternya yang bersifat subjektif) harus berada pada kondisi optimum atau pada suatu ‘range’, yang sangat tergantung kepada karakteristik dari musiknya sendiri. Permasalahan utamanya adalah ketiadaan dari data kondisi akustik optimum tersebut, yang akhirnya berdampak kepada “pendiktean seni musik oleh perkembangan teknologi elektronik sistem tata suara“. Hal terakhir itu, secara tidak langsung mengakibatkan bergesernya ‘preferensi’ masyarakat atas kondisi akustik yang baik dari kondisi ‘natural’ menjadi kondisi ‘artificial’. Pada kondisi yang cukup ekstrim bahkan mengubah persepsi masyarakat dengan menjadikan ‘kondisi akustik yang dihasilkan oleh home-theatre system lebih baik dari theatre yang sebenarnya’.
Jadi, kondisi akustik yang baik itu, yang ‘natural’ atau ‘artificial’?
*) Pakar Architectural Acoustics dan Environmental & Industrial Noise Control, Institut Teknologi Bandung.
Bagus nih, nambah wawasan