Menyajikan Nostalgia dalam Keroncong
Catatan Perjalanan OK Toegoe ke Pasar Malam Besar Denhaag Mei – Juni 2008
Andre Juan Michiels *)
Denhag. Kkota itu selalu menduduki tempat khusus dalam memori kami. Tanggal 19 Mei sampai dengan 2 Juni 2008, untuk keempat kalinya sejak tahun 1998 OK Toegoe diundang untuk tampil di Pasar Malam tahunan yang diadakan di kota Denhaag ini. Event tahun ini diberi tajuk Pasar Malam Besar 50.
Pukul sembilan pagi tanggal 19 Mei, OK Toegoe berkumpul di Markas Besar untuk melakukan pemeriksaan terakhir. Kami harus seksama dalam mempersiapkan perlengkapan yang kami bawa, agar tidak terjadi kelebihan bagasi saat terbang ke negeri kincir angin nanti. Tepat pukul 10.30, dengan diawali doa yang dipimpin oleh isteri mas Winarno (salah satu kru OK Toegoe) kami berangkat dengan tiga mobil menuju bandara Cengkareng. Tak dinyana, saat kami melakukan check in, masih ada kelebihan bagasi yang kami bawa. Untungnya biro perjalanan mau membayarkan kelebihan tersebut. Tapi ternyata masih ada masalah yang menunggu kami, saat kami masuk untuk boarding, cello yang kami bawa tidak boleh masuk ke kabin pesawat. Kami tidak mau mengambil risiko dengan memasukkannya ke bagasi. Akhirnya diputuskan kami batal terbang sore itu, dan harus bermalam di bandara untuk penerbangan hari berikutnya dengan pesawat lain. Kekhawatiran kami terbukti. Cello yang akhirnya kami masukkan ke bagasi pesawat patah, sehingga kami harus menyewa cello di sebuah sekolah musik yang berlokasi tidak jauh dari tempat kami tinggal di Denhaag.Pada akhir perjalanan, masalah ini pun masih membuntuti. Biro perjalanan yang mengurus penerbangan kami membebankan biaya pembatalan penerbangan pertama dengan nilai yang cukup tinggi (mencapai 3.200 Euro). Tidak satu pun penjelasan kami yang mereka terima, termasuk kerugian kami atas cello yang patah. , Seharusnya sejak awal biro perjalanan itu memberikan informasi bahwa cello tidak dapat masuk kabin pesawat. Seandainya saja mereka memahami betapa besar arti cello yang sudah menemani permainan OK Toegoe sejak 8 Februari 1993 itu.
Pada tanggal kedatangan kami tersebut, kami sudah harus tampil. Namun meski badan capek kami mengeluarkan semua kemampuan yang ada untuk memberikan yang terbaik buat penonton yang sudah menunggu kehadiran kami. Beruntung hari pertama kami hanya main satu kali pada pukul 14.00. Hari kedua kami bermain dua kali di panggung tongtong podium. Di situ kami bertemu dengan Michiel Maijer, salah satu anggota millis keroncong yang ada di Belanda. Sayangnya, buletin Troeng yang sedianya saya siapkan untuk buah tangan bagi Meijer tertinggal di tas tangan yang tidak jadi kami bawa ke Denhaag. Sebagai gantinya, kami berikan kaos unik produksi Komunitas Keroncong dan permainan musik yang indah. Sungguh luar biasa sambutan dan antusiasme penonton Belanda. Mereka sangat menghargai kami sebagai pemusik keroncong. Bagi mereka, kami layaknya air yang menyegarkan kehausan dan kerinduan mereka akan Indonesia. Dalam sekejap rasa lelah dan capek kami pun hilang, tidak kami rasakan lagi melihat penonton yang puas dengan pertunjukan yang kami suguhkan. Kami memang tidak hanya membawakan lagu-lagu keroncong asli, tapi juga lagu-lagu yang sedang hits atau lagu-lagu tempo dulu yang populer, agar dapat menjaring penikmat di kalangan muda. Kami juga menyelenggarakan workshop mengenai cara bermain dan bernyanyi keroncong yang benar. Sungguh bangga bisa membawa misi budaya asli indonesia meski dengan kemasan yang sedehana.
Kejutan manis berikutnya adalah saat kami bertemu dengan duta besar indonesia untuk kerajaan Belanda, Bapak Habibi dan para stafnya di pavilion Indonesia. Kami diundang makan siang oleh wakil duta besar, Bapak Johary dengan sajian makanan khas jawa timur. Beliau berjanji untuk mengundang kami tampil di pesta perayaan kemerdekaan RI, tangal 17 Agustus 2008. Ya.. seperti mimpi rasanya, setelah empat kali kunjungan kami ke pasar malam Tongtong Denhaag, baru kali ini kami dapat bertemu dengan orang-orang KBRI, dan malah diundang pula untuk memeriahkan perayaan kemerdekaan negeri kita di Belanda.
Selain hal-hal yang tidak mengenakkan dengan biro perjalanan, kami mendapat pelipur yang ampuh atas kekecewaan dan kejengkelan itu. Di kota Denhaag, kami tinggal di rumah salah seorang pengemar Kr. Toegoe, Tamara, yang pernah datang ke Jakarta dan Badung. Tamara bersama Bung Bram & Uci Andry Warkor menyambut kami sebagai representasi dari Kr.Toegoe, dan menyediakan makanan dan tempat tidur yang nyaman untuk kami beristirahat. Kami juga mendapat keluarga baru di sana, yaitu Erick dan Reina yang menyambut kami di hari ke 3 dengan makan malam di rumahnya. Hidangan khas Indonesia yang dimasak sendiri oleh Reina, yaitu pepes ikan hasil pancingan Erick suaminya membuat kami merasa seperti di rumah sendiri. Kami juga diundang makan malam Oleh Keluarga Victor yang menerima kami layaknya keluarga sendiri. Keluarga baru inilah yang menguatkan makna kehadiran kami di Denhaag. Mereka mengadakan Farewell Party di Apeldoren dengan pesta Barbeceu yang dihadiri hampir semua famili Michiels. Tidak ketinggalan Michiel Meijer dan istri hadir juga hadir di situ. Suasana akrab kekeluargaan yang melingkupi, membuat kami lupa bahwa kami baru saja kehilangan 3200. Air mata tak terbendung lagi saat kami harus melambaikan kata perpisahan di bandara Schipool pada pagi hari tanggal 2 Juni 2008 ke Tamara & Reina Ibunya, Bang Bram dan Uci Audry tante Nell, serta saudara-saudara yang mengantar kami. Seolah kami bisa mendengar lagi lagu LEAVING ON THE JET PLANE yang kami dendangkan sebagai penampilan terakhir kami di pasar malam Tontong.
*) Pimpinan OK Toegoe