Beng Gwan : Sang Pendekar Keroncong
Dentingan dawai melodi gitar yang hadir melalui Orkes Keroncong (OK) Dian Irama tidak lepas dari sosok Beng Gwan. Beliau merupakan pemain melodi gitar di OK Dian Irama, dan dari perjalanan panjang OK Dian Irama, pada saat ini sosok Beng Gwan menjadi muara informasi, sebab hanya tinggal Beng Gwan sendiri, sementara yang lain telah berpulang. Kesendirian Beng Gwan menjadi begitu berarti untuk menggali kembali sejarah panjang OK Dian Irama. Dan untuk itu lah, Tjroeng berkunjung ke kediaman Oom Bang Gwan.
Guratan wajah Oom Bang Gwan sangat jelas, sejelas posisinya di dalam OK Dian Irama. Namun usia yang semakin bertambah membuatnya secara fisik melemah. Namun, ingatan dan komitmen pada keroncong masih sangatlah kuat. Mengagumkan.
”Mulanya mencoba-coba memainkan gitar milik kakak. Saya belajar otodidak memainkan gitar, dan memang keroncong sangat menarik perhatian saya waktu itu. Dari sini saya semakin mendalami melodi gitar irama keroncong,” paparnya jelas. Dengan bekal ini Beng Gwan Muda ke Jakarta pada tahun 1949 dan kemudian bergabung dengan beberapa Orkes Keroncong (OK Dupa Irama, OK Swara Marga dan OK Restu) dengan gaya yang diusung adalah gaya Jakarta-an di mana ukulele tidak dipetik melainkan dikemprung.
Perjumpaan dengan salah satu tokoh keroncong pada masa itu, Bapak Momok Kelana yang mengajaknya main di RRI Jakarta pada akhirnya mempertemukan Beng Gwan Muda ini dengan tokoh-tokoh keroncong lain seperti Bapak Achmad, Jayadi, Benny Waluyo, Manto (Manthous), Budiman BJ dan Tan Eng Lim. Bersama pegiat keroncong ini, bakat musik beng Gwan Muda semakin terasah. Bakat besar yang ada pada diri Beng Gwan ini pula yang akhirnya mempertemukan dengan Bp. Lettu Pol. M. Wiromo di tahun 1952. bersama Bapak Wiromo inilah kemudian lahir OK Dian Irama yang bermarkas di Gedung Panjang, Tanah Pasir, Jakarta Barat, dekat studio rekaman Remaco. Formasi pertama orkes ini adalah Tang Tian Hu (biola), Darmo (flute), Beng Gwan (gitar), Damsyik (cello), Wiromo (ukulele), Ma’ruf Abd (cak) dan Umang (bas). Beberapa tahun kemudian terjadi perubahan formasi di mana masuk Budiman BJ (biola), Nur Marzuki (cello) dan Mulyono (flute).
Pada tahun 1961 OK Dian Irama menjadi pengisi siaran keroncong di TVRI dengan membawa penyanyi Tuty, Julia dan Ram Marzuki. Kemudian pada tahun 1966 menjadi pengirimg dalam Pemilihan Bintang Radio. Orkes ini juga masuk ke dapur rekaman Remaco dan mengeluarkan PH dengan judul Tukang Sado, dan Stb. Jampang dengan penyanyi Masnun Satoto, Utji Sanusi, M. Syah, Itjih Suwarni, Is Marzuki, Ani Hadi, Abd. Hadi, Suhaeri Mukti dan Ma’ruf Abdullah.
Sepanjang perjalanannya OK Dian Irama mempertahankan gaya permainannya yaitu gaya Jakarta-an dan kemudian dalam beberapa lagu divariasikan dengan penambahan instrumen lain seperti tamborin, guiro, farfisa vibraphone dan organ.
”OK Dian Irama berprinsip irama keroncong bukan milik etnis tertentu dan hal ini tercermin juga dengan dimainkannya lagu-lagu daerah dan dalam beberapa lagunya menggunakan bahasa Sunda, bahkan sempat berkolaborasi dengan dengan musik gambang kromong dan membawakan lagu-lagu Betawi,”papar Oom Beng Gwat kepada Tjroeng. Dengan gaya ini, OK Dian Irama bersama Tang Tjeng Bok membuahkan dua (2) album kaset.
Untuk perkembangan musik, sebenarnya pemilik Remaco menawarkan OK Dian Irama untuk mengiringi Waldjinah dan Enny Kusrini, namun gagasan itu ditolek karena akan mengubah permainan OK Dian Irama. Akibat penolakan ini mendorong Budiman BJ untuk menerima tawaran tersebut dengan membentuk OK Bintang Jakarta dan membuahkan PH berjudul Tanti lan Tanto. Meskipun telah memiliki orkes sendiri Budiman BJ masih membantu OK Dian Irama dan mengeluarkan beberapa kaset album keroncong dengan gambar album “Stasion Kota”, “Jl. Hayam Wuruk – Gajah Mada”, “Air Terjun” dan “Karikatur Pemain Biola dan Flute”.
Setelah Budiman BJ berkonsentrasi pada OK Bintang Jakarta, OK Dian Irama sering mengalami bongkar pasang pemain biola dan flute, di antaranya Mardi, Wawi, Benny Waluyo, Giman, E’no, Tang Tian Hu dan Tan Eng Lim. Gaya permainan dari OK Dian Irama ini juga mengakibatkan susahnya mencari pemain pengganti jika anggotanya keluar atau meninggal, apalagi mencari generasi penerusnya.
“ Saya adalah satu-satunya anggota dari OK Dian Irama yang masih hidup, teman-teman dalam OK Dian Irama sudah tidak ada semua,”cerita Oom Beng Gwan dengan sedih.
Darah Seni
“Meski semua anak-anak saya yang berjumlah delapan orang bisa bermain musik, namun saya tidak mengajarkan agar mereka mengikuti jalan hidup saya. Dengan hanya bermain keroncong saja tidakakan bisa hidup,” demikian dinyatakan oleh Oom Beng Gwan kepada Tjroeng. Perkembangan dunia keroncong yang relative biasa-biasa saja seolah membenarkannya.
Komentarnya terhadap perkembangan musik keroncong dinilainya cukup maju, dan ia berharap dengan masuknya aransemen-aransemen moderen sebaiknya juga tetap membuat aransemen lagu dengan pakem-pakem keroncong yang murni sehingga orang masih tetap dapat melihat bagaimana keroncong itu bisa berkembang sampai ke bentuknya sekarang. “ Hanya menurut penilaian saya, permainan musik keroncong sekarang ‘kurang ayu’ jika dibandingkan dengan permainan keroncong tahun 1950 – 1960-an. Misalnya permainan sepakbola, permainan musik keroncong tidak hanya asal cepat saja tetapi harus menjiwai lagunya dan menjaga keharmonisan dengan pemain lain. Keharmonisan yang penuh dengan penjiwaan inilah yang membuat permainan keroncong menjadi ayu,” sembari tersenyum, “Memainkan musik keroncong itu memang sukar tetapi dengan latihan yang disiplin pasti akan membawa hasil yang baik. Jangan takut untuk meniru permainan dari orang lain, sebab dengan menirukan ini akan memperkaya teknik permainan dan gaya permainan kita.” lanjutnya seraya berpesan kepa Tjroeng.
(Isaac)