Tanpa Keroncong Tak Ada Tetty Supangat
Lapangan Udara (Lanud) khusus militer Atang Sanjaya, Bogor, suatu siang di pertengahan dekade 80-an. Beratus-ratus lelaki gagah duduk bersantai. Ada yang ngobrol satu dengan yang lain. Ada yang menikmati makanan dan minuman. Sebagian terbesar di antara mereka adalah purnawirawan angkatan udara, dan yang lain adalah prajurit aktif di angkatan yang sama.
Satu dua menengok ke panggung hiburan ketika pembawa acara memperkenalkan seorang “anak kolong†yang akan tampil bernyanyi.
Ketika para pemusik memainkan bagian intro, sebagian tamu masih tetap asyik dengan obrolannya.
“Di mana… akan kucari… aku menangis… seorang diri…â€
Di atas panggung seorang gadis ABG mulai terbawa oleh lagu “Ayah†yang dinyanyikannya sendiri. Seandainya ayah masih hidup, beliau pasti berada di antara para penonton yang ada di hadapanku. Ikut menyaksikanku. Ayahnya, terakhir berpangkat Kapten Angkatan Udara, sudah meninggal pada 1978.
“Untuk ayah tercinta… aku ingin bernyanyi…â€
Satu demi satu, penonton mulai mengalihkan perhatian mereka ke panggung. Oh, ternyata suara anak Almarhum Kapten Supangat ini memang bagus. Tapi pilihan lagumu itu lho, Ndhuk, bikin tintrim.
Ketika sampai bagian… “walau air mata… di pipiku…†si penyanyi remaja semakin terlarut dalam lagu yang dibawakannya. Kerinduan pada ayahnya membuncah. Air matanya mulai mengalir. Suaranya semakin parau. Dan akhirnya meledaklah dia dalam tangis. Mikropon yang ada di tangannya dilemparkan begitu saja, dan dia seperti hilang kendali. Dia menangis histeris, turun dari panggung, dan berlari kencang ke tanah lapang. “Bapaaak… bapaaak…†tangisnya tak terkendali.
Karena terkesima, banyak penonton yang terdiam di tempat masing-masing. Tapi minimal enam di antaranya segera berlari mengejar si ABG. Memeluknya. Menenangkannya.
“Pokoknya malu-maluin deh. Tapi seru juga sih,†kata Tetty Supangat menceritakan sepenggal pengalaman awalnya di dunia panggung keroncong.
* * *
Kini, lebih dari 30 tahun setelah peristiwa itu, Tetty Supangat telah menjadi salah satu penyanyi keroncong papan atas yang dimiliki Indonesia. Suaranya begitu berkarakter, lembut tapi bertenaga. Power itu terasa benar pada nada rendah, tapi pada nada tinggi suaranya tetap tebal. Puncak kemampuan akrobatiknya adalah ketika melompat dari nada rendah ke nada tinggi, dari suara dada ke falsetto, dengan ayunan yang melenting penuh gaya. Kronci sekali.
Berbagai prestasi dalam berkeroncong juga telah berhasil dibukukan oleh Tetty. Bukan hanya gelar bintang radio yang diraihnya di masa remaja, Tetty juga berhasil masuk panggung rekaman termasuk berduet dengan bintang idolanya, Toto Salmon. Beberapa hotel berbintang telah belasan tahun memberikan panggung tetap baginya. Belum lagi berbagai panggung tidak rutin di berbagai kota di Indonesia, bahkan hingga ke manca negara. “Alhamdulillah saya pernah manggung di Singapura dan Malaysia. Bahkan saya sudah tampil sembilan kali di Tong Tong Fair,†kata Tetty. Tong Tong Fair adalah Festival Eropa-Indonesia terbesar yang menjadi agenda tahunan di Belanda.
* * *
Tetty mengaku mulai bernyanyi keroncong sejak masih usia remaja. “Saya senang keroncong karena ketika Bapak masih hidup beliau sering memperdengarkan musik keroncong di rumah. Sementara itu ibu saya adalah penyanyi keroncong. Di rumah sering ada latihan, sehingga lama kelamaan saya juga menyukai keroncong.â€
Tetty mengaku awalnya dia berlatih keroncong tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ketika pertama kali ikut lomba keroncong di RRI Bogor pun orang tuanya tidak tahu. “Saya jadi juara satu, Mas… tapi di tahap berikutnya, tingkat Jawa Barat di Bandung, saya hanya mendapat juara ketiga,†Tetty mengenang peristiwa tahun 1985 itu.
Tetapi dalam perjalanan waktu justru ibunyalah yang mendorong Tetty berkeroncong. “Saya sempat nyanyi pop juga. Tapi ibu saya bilang, ‘Jangan bernyanyi di jalur pop, karena kamu tidak cantik.’ Menurut ibu, tanpa wajah cantik, di dunia pop saya tidak akan dilirik. Di keroncong lain. Kualitas suara lebih menentukan.â€
Dari sanalah Tetty kemudian menetapkan pilihan untuk menekuni keroncong. “Sejak SMA saya sudah manggung reguler di Hotel Indonesia, Hotel Wisata, dan Hotel Sahid.†Dari situ perlahan-lahan banyak pihak mulai tahu bahwa Tetty punya semacam base camp. Di situ pula dia mulai berkenalan dengan penggemar-penggemar baru yang kemudian mengundangnya untuk tampil di aneka event yang tidak reguler.
“Yang paling tidak bisa dilupakan adalah undangan dari satu yayasan swasta untuk tampil di Tong Tong Fair di Belanda pada 1995. Padahal waktu itu masih culun, belum percaya diri,†kata Tetty. Bahkan dia mengaku, pakaian pentas pun dia tidak punya, sehingga harus pinjam sana – pinjam sini.
Tetapi yang pasti peristiwa itu telah secara luar biasa melambungkan rasa percaya dirinya. Bagaimanapun juga, undangan ke Belanda itu baginya adalah pengakuan akan eksistensinya sebagai penyanyi keroncong. “Saya merasa bahwa audience keroncong baik dalam maupun luar negeri sudah menerima saya, Mas.†Apalagi di kemudian hari ternyata undangan ke Belanda datang berulang kali.
Kembali mengenang undangan yang pertama, Tetty mengaku, “Kalau nggak salah saya dapat honor lima juta. Aduh, Mas… itu betul-betul rezeki buat saya. Untuk ukuran sekarang mungkin uang itu kecil. Tapi waktu itu boro-boro jutaan. Uang seratus ribu saja nggak pernah saya lihat, Mas…†Waktu itu, menurut ceritanya, kehidupan ekonomi keluarganya memang “masih dalam tahap berjuangâ€.
* * *
Tetty mengakui bahwa sekarang dia sudah berada pada tahap yang cukup mapan dalam dunia keroncong. Lebih dari sekadar “bisa mencicil macam-macam dari keroncongâ€, Tetty mengaku bahwa keroncong adalah jiwa raganya; keroncong adalah hidupnya; keroncong adalah identitasnya. Bahkan penggemar Langgam Biarkan Malam Gelap Berlalu, Hatiku Gelisah, dan terus Jauh di Mata Dekat di Hati itu mengaku bahwa lebih dari sekadar mencintai, dia merasa memiliki keroncong. “Kalau nggak ada keroncong ya nggak ada Tetty Supangat, Mas.â€
Karena itu dalam posisi itu dia mulai ikut memikirkan bagaimana keroncong mesti dikembangkan di tanah air. “Yang pertama menurut saya kita harus mengajak anak-anak muda untuk mencintai keroncong dulu… musiknya dulu.†Karena itu baginya pilihan lagu justru nomor dua. Orang boleh saja menyanyikan lagu pop, R&B atau apa pun, yang penting musik pengiringnya keroncong. Dengan begitu setahap demi setahap orang akan mencintai musik keroncong. Setelah itu, menurut keyakinannya, orang akan dengan sendirinya mencari lagu-lagu yang memang khas keroncong.
Kepada Tjroeng penyanyi yang mengidolakan Sri Widadi dan Toto Salmon itu mengaku tidak secara formal mengajar musik atau vokal keroncong. “Tapi memang selalu ada yang belajar pada saya, entah dengan bertemu langsung atau menggunakan voice notes [fasilitas pada aplikasi Whatsapp].â€
Kepada para pembelajar itu Tetty juga berusaha tidak terlalu membebani. Dia tidak memaksa mereka harus memilih lagu keroncong, stambul, atau langgam. Dia juga tidak memaksa mereka berkonde dan berkebaya. Yang penting mereka menikmati musik keroncong. “Dan hasilnya memang ada. Ada murid saya yang kemudian sampai meninggalkan Jazz, dan hanya mau menyanyi keroncong.†(Her Suharyanto)