Bengawan Solo
Riwayatmu … mengalir sampai jauh
Bengawan Solo. Sebuah lagu ciptaan Pak Gesang tahun 1940 silam, sebuah lagu yang sampai saat ini masih dikenal, masih dinyanyikan, masih dipebincangkan. Riwayatmu mengalir sampai jauh, sampai ke abad 21, sampai ke manca negara. Mengapa demikian? Tentu bukan kebetulan, pasti lagu ini mempunyai kekuatan, tanpa kekuatan tidak mungkin bertahan begitu lama, lak lekang dikenang orang.
Di mana kekuatan itu? Pertama di nada-nadanya, di lagunya itu sendiri. Lagu Bengawan Solo sangat indah namun ditulis secara sederhana, hanya ‘not-not pokok’ yang ada di sana, dengan demikian lagu ini bisa dinyanyikan dengan gaya pop maupun keroncong, dibuat paduan suara dengan menambah suara 2, 3, 4 juga bisa. Cengkok juga bisa ‘sesuka hati’, tanpa cengkok juga boleh. Dengan demikian semua kalangan bisa menyanyikan lagu ini, dari anak-anak sampai orang tua, dan tentunya dari negeri sendiri sapai orang asing, Jepang dan Cina sekalipun. Coba saja lagu lain, misalnya Lgm. Saputangan atau Kr. Tanah Airku, tidak semua orang ‘bisa menyanyikan’, apalagi dibuat paduan suara.
Kekuatan kedua ada pada syairnya yang sederhana, mudah diingat, namun indah, coba lihat ‘ Bengawan Solo, riwayatmu ini’, untuk membuat akhir kalimat dengan huruf ‘i’, maka yang seharusnya ‘ini riwayatmu’ menjadi ‘riwayatmu ini’, tapi terasa indah bukan?
Kekuatan ketiga ada pada syairnya yang bermakna, sepintas syair Bengawan Solo biasa saja, namun kalau kita perhatikan –atau ‘secara tidak sadar’– ada makna tersirat di balik yang tersurat. Ada yang ‘perlu ditafsirkan’, tidak mengalir begitu saja, ini yang membuat orang tidak bosan mengulang dan mengulang lagu ini.
Untuk ‘melihat’ kekuatan kedua dan ketiga tadi, mari kita simak lagu ini.
Bengawan Solo
Bengawan artinya sungai besar, jadi Bengawan Solo artinya sungai ‘Solo’ yang besar.
Nah, pertanyaannya sebelum ada lagu ini, apa memang nama sungai ini Bengawan Solo? Jangan-jangan namanya Sungai Solo atau Kali Solo, nama Bengawan Solo muncul setelah lagu ini populer. Kalau dugaan ini benar, maka Pak Gesanglah yang memberi nama sungai ini.
Bengawan Solo, riwayatmu ini
Kata riwayat atau sejarah, seakan menyiratkan kita bahwa lagu ini akan punya riwayat yang panjang, sampai pergantian abad masih dibicarakan.
Sedari dulu jadi perhatian insani
Ternyata benar, dari dulu sampai sekarang Bengawan Solo menjadi perbincangan banyak insan, banyak orang, dari jaman keemasan di mana keluarga kerajaan bertamasya di sungai ini, pembuatan waduk Gajah Mungkur, sampai soal banjirnya yang ‘menyapu’ berbagai kota akhir-akhir ini.
Musim kemarau, tak seberapa airmu. Di musim hujan air meluap sampai jauh.
Di tahun 40-an saja, kalau hujan sungai ini meluap sampai jauh, mungkin beberapa meter dari bibir sungai. Itu saat masih banyak hutan dan pohon disekitarnya. Seharusnya ini jadi ’pelajaran’ bahwa kita tidak boleh semena-mena membabat hutan dan tanaman di hulu dan sekitar sungai ini, atau ’air akan meluap lebih jauh lagi’, bahkan sampai beberapa kilometer dan merendam wilayah yang dilaluinya. Dengan kata lain pencipta lagu ini sudah mengingatkan lho, sekian puluh tahun yang lalu, akan pentingnya menjaga ekosistem di sekitar sungai besar ini.
Mata airmu dari Solo, dikurung gunung seribu.
Kalau ditulis ‘Mata airmu dari Solo, dari Pegunungan Seribu’ itu sudah benar, memang hulu sungai ini ada di daerah Pegunungan Seribu. Namun, pemilihan kata ‘dikurung gunung seribu’ menjadikannya ‘nyeni’ dan ‘secara tidak sadar’ kita membayangkan ada seribu gunung mengitari mata air Bengawan Solo. Apa nggak hebat?
Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut
Air Bengawan Solo mengalir dari kota Solo sampai Surabaya, memang jauh. Ini biasa saja. Tetapi kalau kita berfikir mungkin belum semua orang Solo pernah ke Surabaya, apalagi tahun 40-an, maka orang akan menduga-duga seberapa panjang sungai ini.
Itu perahu, riwayatmu dulu
Konon dahulu di Bengawan Solo banyak perahu hilir mudik, bahkan pihak keraton Surakarta mempunyai ‘perahu khusus’ untuk melancong di Bengawan Solo.
Kaum pedagang slalu, naik itu perahu
Kaum pedagang mungkin sekarang sudah jarang atau tidak ada lagi yang menggunakan Bengawan Solo sebagai sarana transportasi. Bengawan Solo sudah tidak seramah dahulu.
Ya, saat kita mendengar atau menyanyikan lagu ini, ‘alam bawah sadar kita’ merindukan Bengawan Solo seperti saat lagu ini diciptakan. Mungkinkah? Bengawan Solo yang indah dan ramah, dicintai petani dan disayang pedagang, disokong para pelancong dan digemari untuk rekreasi. Dan tentunya disenangi para penyanyi.
Wd
Sebenarnya yg diungkapkan Gesang dlm lagu Bengawan Solo adalah sebuah nostalgia, suatu kerinduan terhadap ideal, di mana keadaan pasang dan surut berada dlm harmoni. Gesang terkesan oleh “kontras” keadaan air Bengawan Solo di musim kemarau dan musim hujan. Ini dikatakannya sendiri dlm pengantar sebuah CD rekaman lagunya. Kata penyair Jepang terkenal Hagiwara Sakutaro, music is a subjective art, an expression of nostalgia, longing for the non existence. Begitulah kurang lebih.
Saya sangat menghargai artikel “Bengawan Solo” di atas, yg merupakan analisa kebahasaan terhadap lirik atau syair dari lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang (1940). Di antaranya dikatakan: “Kalau ditulis ‘Mata airmu dari Solo, dari Pegunungan Seribu’ itu sudah benar, memang hulu sungai ini ada di daerah Pegunungan Seribu. Namun, pemilihan kata ‘dikurung gunung seribu’ menjadikannya ‘nyeni’ dan ‘secara tidak sadar’ kita membayangkan ada seribu gunung mengitari mata air Bengawan Solo.” Analisa ini tepat sekali, kata “terkurung gunung seribu” itu telah menimbulkan kesenangan imajinatif, indah dan dinamis. Frase “mata airmu dari Solo” adalah menguraikan, sedangkan “terkurung gunung seribu” menggambarkan. Gesang, di mata saya adalh seorang genius, luar biasa berbakat. Gesang telah mencairkan dan meleburkan fisik Bengawan Solo di dalam perasaannya, berpadu dgn insting dan kerinduan purba Sang Maestro yg metafisis, lalu di-ekspresikan kembali lewat karya musik, berupa lagu keroncong “Bengawan Solo” itu. Gesang telah mencipta lagu Bengawan Solo dlm rumah metafisisnya (istilah “rumah metafisis” saya pinjam dari penyair Hagiwara Sakutaro). Salam
Pak Ruslan, rasanya Bapak musti nulis untuk buletin deh. Kupasan Bapak mengenai lagu Bengawan Solo dalam sekali, sepertinya pengetahuan dan wawasan Bapak sangat perlu dibagi ke para pecinta keroncong yang lain. Kami tunggu pak sumbangan tulisannya.
Ketika Kitaro, pemusik asal Jepang yg kini bermukim di Colorado (AS) itu tampil di Stadion Tenis Tertutup Senayan, Jakarta, di bulan September 1995, di hadapan penontonnya yg konon hampir mencapai 3.000 orang, dia juga memainkan lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang itu. Dgn cara ini-lah Kitaro secara cerdas menunjukkan kepada publik di Indonesia kepekaan lokalnya. Yg menarik, saat memainkan lagu Bengawan Solo, Kitaro sendiri tidak memainkan alat apapun, dia hanya bertindak sebagai dirigen (saya baca dari koran, saya tidak sempat menyaksikannya). Saya pikir inilah ke-hati2an dan sekaligus kejujuran dari seorang pemusik besar Kitaro yg mengagumkan. Karena, untuk menyajikan Bengawan Solo sesuai cita rasanya sebagai pemusik spiritual, dia perlu “Ching” (baca: Jing), pengalaman inderawi (visual experience), dari realitas alam Bengawan Solo, dia perlu lebih dahulu menyaksikan sendiri secara fisik alam Bengawan Solo tsb. Dgn cara demikian maka “Ch’ing” (baca: Qing), pengalaman rasa (emotional experience), dlm dirinya akan mengalami penghayatan spiritual yg diperlukan untuk memainkan sendiri musik Bengawan Solo karya Gesang sesuai cita rasanya. Kalau tidak, seperti pertanyaan Wang Fu Chich (penyair China abad ke-17M dari siapa istilah “Ch’ng” dan “Ching” saya pinjam): “Kalau anda tidak menguasai bahasa Ching, bagaimana anda akan menguasai bahasa Ch’ing?” ——- air mengalir sampai jauh…..akhirnya ke laut……. Sekian komentar kali ini.
Bu Isna, terima kasih banyak, jujur saya merasa terhormat menerima saran dari Ibu agar saya menyumbang tulisan di buletin Tjroeng. Sebenarnya saya menyadari bahwa saya awam dlm musik, komentar2 saya (yg saya posting secara spontan di saat jeda sebentar dari pekerjaan) bukan tentang musik itu sendiri, melainkan wawasan estetika secara umum dlm karya seni (terkait musik), bertitik tolak dari lirik2 / puisi dlm lagu keroncong. Tapi mudah2an saya akan mendapatkan informasi alamat (dari buletin Tjroeng mendatang) kalau suatu ketika saya ingin menyumbang tulisan ala kadarnya di Tjroeng. Sekali lagi terima kasih. Salam,
Bengawan solo….hmmmm
syair sejarah salah satu makhluk yang bernama Bengawan Solo…….seperti sebuah kisah perjalanan panjang sungai bengawan solo dan seorang Gesang yang dicurahkan lewat syair yang begitu indah,ringkas dan padat.
Bila anda mengexplorasi sejarah bengawan solo dengan dasar lagu tersebut secara tidak langsung anda juga akan mengexplorasi Pencipta lagu tersebut.
“soul mate” antara dua makhluk di masa kehidupan Pak Gesang(saling terkait.
Salam Yana Denki.
Pak Ruslan, postingan-2 bapak di website ini selalu menarik. Bisakah kiranya bapak menyumbangkan artikel apa saja tentang musik, untuk bisa kita terbitkan pada Buletin Tjroeng. Syukur2 bisa masuk pada edisi 11, yg rencana terbitnya Bulan Maret 2010. Edisi 10 saat ini sedang naik cetak, semoga bisa segera terbit. Terimakasih.
Pak/Bu Admin, senada dgn komentar saya sebelum ini, saya merasa kurang percaya diri (confident) untuk menulis artikel di Buletin Tjroeng, mengingat saya awam dlm musik; saya adalah seorang penggemar/pengamat puisi, dan di waktu senggang membaca filsafatnya sebagai hiburan (hobi). Saya pikir saya sebaiknya tetap menjadi komentator, atau semacam penulis catatan pinggir di website ini; kalau berupa sebuah uraian atau artikel, saya khawatir akan “menggeser” Tjroeng dari buletin musik menjadi buletin sastra :). Istilah2 yg saya tulis, seprti “nostalgia”, “kerinduan (longing)”,
“ideal”, “non existent”, “rumah metafisis (metaphysical home”, “ching”, “ch’ing”, semuanya adalah dari wacana sastra, khususnya puisi. Memang, saya tidak serta merta alias ngawur, bagi saya musik, seperti halnya puisi, merupakan ekspresi dari “hasrat menyala” dlm perasaan atau jiwa seseorang, memakai simbol2 dlm bentuk bunyi. Ini yg dikatakan Kaisar Shun (Kaisar China, 2255-2205 SM): “Poetry expresses the heart’s whishes in words; songs set words to music.” (James Liu, “The Art of Chinese Poetry”.). Terima kasih, insya Allah saya akan melanjutkan menulis catatan pinggir di Buletin Tjroeng tercinta ini: air mengalir sampai jauh/akhirnya ke laut….
(Sekalian saya mau meralat komentar saya yg lalu: Punulisan yg tepat adalah Wang Fu-chih (bukan Wang Fu-chich), kadang2 dlm literatur ditulis Wang Fu Chih – terima kasih.) Salam
Pak Ruslan, kita ada satu rubrik namanya belakang panggung. Rubrik ini diperuntukan untuk artikel diluar keroncong, tetapi masih ada kaitannya dengan musik scr umum, kolaborasi musik dan tari, sastra dan musik, dll. Pokoknya masih berhubungan dengan musik. Jadi jangan khawatir tulisan Bapak tidak relevan dgn rubrik2 di Tjroeng hehe. Jadi kami tetap menunggu tulisan bapak. Terimakasih.
Pak/Bu Admin, mohon saya diberi tahu alamat email untuk mengirim artikel ke Buletin Tjroeng. (Sebenarnya saya memesan Buletin Tjroeng agar secara ffisik saya bisa melihat penampilan artikel2-nya, berikut alamat/ informasi terkait, seperti pada umumnya sebuah penerbitan. Tapi sampai sekarang Tjroeng bagi saya sepertinya sepertinya suatu “idea”, yg kata Plato “di langit biru”.) Terima kasih sebelumnya.
Pak Ruslan, silahkan kirim artikel bapak ke email tjroeng@yahoo.com, kami tunggu. Terimakasih
Artikel sudah saya kirim ke tjroeng@yahoo.com, berjudul ‘Lagu “Bengawan Solo”, Sebuah Simbolisasi-emosi’, senang sekali kalau bisa secepatnya dimuat di buletin tjroeng. Terima kasih.
Baik Pak Ruslan, akan kami cek. Artikel bapak mungkin akan masuk pada edisi 11. Terimakasih.
Innalillahi wa-innailaihi rojiun, telah wafat Bapak Gesang Martohartono pada tanggal 20 Mei yg lalu. Kita semua mendoakan semoga arwah beliau berbahagia di alam abadi, mendapat tempat yg layak di sisiNYA.
Bapak Gesang mencintai negara dan bangsanya yg beliau wujudkan lewat karya2 musiknya yg luhur dan agung, bernilai seni yg tinggi dgn segala keindahannya. Lagu Bengawan Solo merupakan salah satu karya beliau, dan kitapun bangga karena ternyata karya tsb tidak hanya populer di Indonesia, tapi juga menyeberang lautan, hingga ke Malaysia, Jepang, China, Belanda, Afrika, bahkan dikenal juga di Amerika. Gesang mencintai dan menguasai bahasa alam tanah airnya, dlm lagu Bengawan Solo beliau telah menjadikan alam sebagai juru bahasanya. Gesang mengungkapkan irama kehidupan yg “bergantian sedih dan gembira / di arena alun masa” — saya meminjam dari komponis Sapari — lewat sugesti bahasa alam berupa fenomena pasang dan surut air Bengawan Solo yg mengalir sampai jauh, menuju ke laut. Alam menjadi juru bahasa Gesang, dan sekaligus Gesang menerjemahkan bahasa alam!
Terima kasih Bapak Gesang atas warisan luhur yg tak ternilai harganya kepada kami; Selamat Jalan. RK
wah edisi 11 keluarnya kapan yah? saya jadi menunggu kehadiran tulisan pak ruslan. kebertulan sy sedang mengulas film Taiwan, yg bercerita ttg pekerja migran asal Indonesia di sana. Nah… untuk musiknya beliau menggunakan lagu bengawan solo. sy jd penasaran dgn alasan pemilihan lagu tersebut dan filosofi pembuatannya. Tampaknya tulisan pak Ruslan akan sangat menggambarkan hal ini.
@Pak Ruslan, setelah kami cek artikel bapak tidak belum masuk di tjroeng@yahoo.com. Dan edisi 11 kini sudah terbit, meski belum di upload di website ini tetapi segera akan kita upload. Mohon artikel bapak bisa dikirimkan ke alamat tjroeng@yahoo.com dan di cc ke adi_bangun@yahoo.com untuk kita angkat di edisi 12. Kebetulan pada edisi 12 nanti Tjroeng akan membahas secara komprehensif sosok Gesang beserta karya2nya. Tkasih.
@Mas Yuher, jadi mohon bersabar ya. Tkasih.
@Pak/Bu Admin, sesuai permintaan baru saja saya kirimkan kembali artikel tsb ke tjroeng@yahoo.com, dan di-cc ke adi_ bangun@yahoo.com. Terima kasih atas perhatiannya. Saya jg sudah menerima buletin Tjroeng edisi 11 yg memuat tulisan saya sehubungan dgn wafatnya Pak Gesang; terima kasih banyak, saya menunggu kiriman edisi selanjutnya.
@Pak Yuher, terima kasih apresiasinya thdp tulisan saya. “air mengalir sampai jauh / akhirnya ke laut.” Salam
Apakah boleh pembaca berkirim artikel ke blog ini, dan apa saja syaratnya? Bilakah ada rambu-rambu tertentu yang harus dipenuhi oleh pengirim tulisan?
Atas waktunya kami sampaikan terimakasih.