Keroncong Bangkit
“Buruh bersatu tak bisa dikalahkan,” begitu semboyan yang muncul pada 1 Mei sebagai peringatan hari Buruh yang dikenal sebagai May Day. Buruh sebagai pilar utama industri kurang mendapat perhatian dalam manajemen perusahaan, sehingga penindasan terhadap buruh terus saja berlangsung. Nasib buruh dalam dunia industri tidak jauh berbeda dengan nasib seni budaya (termasuk keroncong) di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa. Keroncong sebagai musik nasional Indonesia tidak mendapat porsi yang mencukupi dalam materi ajar di sekolah, apalagi dalam industri rekaman.
Bulan Mei, seiring dengan peringatan Kebangkitan Indonesia, kita semua ditantang untuk bisa membangkitkan keroncong. Namun kondisi ini menuntut berbagai prasyarat. Kita tidak bisa berpangku tangan atau hanya sekedar menunggu agar ornag lain melakukannya, tetapi sungguh setiap insan pecinta keroncong diharapkan partisipasinya. Disamping partisipasi, untuk membangkitkan keroncong juga diperlukan sudut pandang baru dalam melihat keroncong, sehingga tidak terjebak pada mimesis, keroncong asli dan tidak asli, pakem dan tidak pakem dan seterusnya.
Pendidikan : jalan terjal kebangkitan
Pendidikan diyakini merupakan sebuah wahana paling baik bagi sebuah transfer ilmu dan ketrampilan. Melalui pendidikan diharapkan ilmu bisa semakin berkembang. Momentum Hari Pendidikan pada tanggal 2 Mei menjadi titik pijak yang kokoh dalam kaitannya dengan upaya membangkitkan keroncong. Namun demikian, institusi pendidikan yang ada sampai saat ini praktis tidak ada ruang bagi pengembangan bakat seni, khususnya keroncong.
Dunia pendidikan, terlebih semenjak diberlakukannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan prakteknya mendorong privatisasi sektor pendidikan, pada akhirnya tidak melirik kesenian sebagai faktor pembangunan karakter (character building), kesenian diajarkan untuk persiapan memasuki industri musik. Sehingga dengan demikian, ledakan produksi lagu-lagu baru didominasi dengan lirik-lirik yang mengeksplorasi cinta yang miskin nilai. Pada situasi ini terjadi perubahan orientasi kesenian, di mana kesenian tidak lagi menjadi media artikulasi pergulatan bathin, tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor pasar, apakah karya seni tersebut laku dijual atau tidak. Jika tidak maka tidak akan diproduksi.
Nasib musik keroncong pada saat ini sedang pada tahap dasar, di mana ia harus menempuh perjalanan panjang dan terjal untuk mencapai kebangkitan sejati. Kebangkitan keroncong sekaligus menemukan kebangkitan nasional yang hakiki.
Keroncong Baru : harapan baru
Kebangkitan keroncong tidak melulu berpusat pada musik keroncong itu sendiri, namun jauh lebih luas, yakni berkaitan dengan cara pandang. Cara baru dalam memandang keroncong akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan keroncong selanjutnya. Ketika keroncong hanya dilihat hanya sebatas jenis alat musiknya, maka jebakan ini hanya akan mengerdilkan keroncong.
Pertunjukan Keroncong Tenggara memberikan contoh yang sangat baik, dan dari pementasan tersebut kita diajak untuk berkontemplasi, menatap keroncong masa depan, yang penuh harapan. (mboets2000)
Kita menghendaki kebangkitan yang tidak terbatas pada ibadah dan perbuatan mandub saja. Akan tetapi, kita menghendaki kebangkitan atas hukum-hukum Islam keseluruhan baik dalam pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, hubungan luar negeri, tsaqafah dan pendidikan, politik dalam negeri dan luar negeri dan dalam seluruh urusan umat, baik secara individu, kelompok maupun negara, sebagaimana Rasulullah Saw. dan para Shahabat.