Nasib Seniman di Tengah Pandemi: berinovasi atau mati
“Panik memiliki logika sendiri. Fakta bahwa, di Inggris, karena kepanikan coronavirus, bahkan gulungan kertas toilet menghilang dari toko mengingatkan saya pada insiden aneh dengan kertas toilet dari masa muda saya di Sosialis Yugoslavia.†(Slavoj Žižek, 2020)
Situasi di atas, adalah gambaran riil dari sebuah kepanikan yang luar biasa dahsyat, bahkan hal remeh-pun bisa lenyap di pasaran sebagai akibat bencana sebuah pandemi. Ya, Covid-19 atau Corona Virus menghantam seperti gada raksasa tak terlihat, virus yang tidak hanya menjatuhkan korban dan mengancam jiwa tapi juga meluluhlantakkan dunia,termasuk Indonesia tentunya. Dengan jumlah korban yang begitu besar menggambarkan besarnya persoalan yang dihadapi, berikut dampak-dampaknya. Secara global, pertumbuhan ekonomi menurun drastis, sebagai akibat banyak negara melakukan lockdown yang mewajibkan warganegaranya tidak beraktivitas, dan terhentinya nyaris seluruh sektor industri. Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa pandemi virus corona merusak ekonomi dunia, dan perusakan tersebut jauh lebih dari angka perkiraan yang dinyatakan sebelumnya. Prediksi IMF, output ekonomi dunia tahun ini akan menyusut hampir 5%, atau hampir 2% lebih buruk dari perkiraan bulan April (BBC, 25 Juni 2020)
Covid-19 dan Dunia Seni
Dengan terhambatnya nyaris seluruh sektor kehidupan, maka masyarakat secara naluriah akan memilih sikap berhemat, kreatif, dan terfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar. Makan.
Lalu, bagaimana dengan kehidupan dunia seni?
Sektor industri pariwisata dan industri kreatif mengalami kemandegan luar biasa, semua pementasan live-show terhenti, kontrak pekerjaan batal dan lain sebagainya. April lalu, sejumlah data dilansir melalui penelitian Pollstar, skenario terburuk dari industri konser dunia berpotensi kehilangan hampir US$ 9 miliar setara Rp 149,7 triliun, jika virus corona atau Covid-19 belum mereda hingga akhir tahun ini. Dan untuk Indonesia, data dari Koalisi Seni per-Maret 2020 dilaporkan ada sekitar 10 proses produksi dan rilis film yang tertunda, 40 konser, tur, dan festival musik dibatalkan, 8 pameran dan museum seni rupa, 3 pertunjukan tari dan 9 pentas teater yang juga pada akhirnya tidak dapat tampil, namun secara finansial kerugian atas pembatalan kegiatan tersebut belum bisa dihitung.
Penundanaan dan atau penghentian kegiatan seni secara langsung memukul kehidupan ekonomi para seniman, meski tidak mematikan daya kreatifnya. Namun, ketika pandemi tidak kunjung usai, geliat kehidupan para seniman-pun terlihat ada yang melemah. Dan, menurunnya kapasitas ekonomi para seniman yang terbiasa dan mengandalkan live-event semakin menjadi manakala ijin pertunjukan dibatasi bahkan dilarang untuk mengadakan pementasan. Pegiat Keroncong termasuk yang terdampak situasi ini.
Peran Pemerintah Untuk Pegiat Seni
Di mulai Maret lalu, pendataan mengenai potensi kerugian telah dilakukan oleh kementerian beserta jajaran terkait ekonomi kreatif (Kemenparekraf) dengan upaya mengaktifkan Pusat Krisis Terintegrasi sebagai jalur komunikasi dan edukasi bagi masyarakat untuk menekan dampak Covid-19 bagi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Kemudian pada bulan April 2020, Komisi X DPR RI menggelar rapat kerja dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio secara virtual. Rapat yang diikuti 40 dari 53 anggota Komisi X tersebut salah satunya membahas pengajuan realokasi anggaran Kemenparekraf sebesar Rp500 miliar untuk penanggulangan dampak wabah Covid-19.
Dinyatakan oleh Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, bahwa para seniman dan pekerja wisata yang terdampak Covid-19 dapat masuk pada skema kartu pra kerja. Nantinya para seniman dan pekerja wisata ini bisa mendapatkan berbagai tunjangan pelatihan dan berbagai insentif dari pemerintah. Selain itu untuk sektor usaha di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif dapat melakukan usulan pembebasan biaya BPJS kesehatan maupun ketenaga kerjaan, keringanan pajak, relaksasi pinjaman bank, hingga pengurangan biaya listrik serta sewa. Demikian, harapannya agar pekerja maupun pengusaha sektor pariwisata dan industry kreatif tetap bertahan selama masa tanggap darurat wabah Covid-19. (Pikiran Rakyat.com, 08/04/20)
Salah satu hal yang lebih maju dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di mana para seniman yang terkena dampak pandemi Covid-19 mendapatkan donasi senilai Rp425,99 juta. Donasi tersebut berasal dari hasil penggalangan dana pertunjukan seni online, “Panggung Kahanan Mositivi Covid-19†yang digelar pada tanggal 22 April 2020 di Rumah Dinas Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Puri Gedeh Semarang.
Peran lebih jauh, keterlibataan pemereintah melalui pemerintah daerah masing-masing sangat dibutuhkan.
Konser Virtual, Konser Kekinian
Teknologi digital yang semakin maju, semakin mendapatkan tempatnya yang pas di situasi pandemi Covid 19. Berbagai pertunjukan daring dilakukan oleh banyak seniman, baik pentas perseorangan, bahkan pentas kolaboratif melalui aplikasi zoom yang saat ini booming penggunaannya. Selain zoom, aplikasi yang menjadi sarana unjuk kreativitas dengan jangkauan konsumen berumur 16- 30 tahun, sebut saja platform YouTube, IGTV pada fasilitas Instagram, Facobook Live, Spotify, TikTok dll, dan itu sangat digemari oleh generasi remaja sebelum pandemi. Namun akhir-akhir ini jangkauan digital platform merambah pada mereka yang berusia 30- 50 tahun dalam menjawab kebutuhan akan berkarya.
Dilansir dari laman rakyatmerdekanews.com, dalam satu kesempatan webinar yang diadakan Himpunan Pengusaha dan Wiraswasta Indonesia (HIPWI) dengan tema Industri Musik Indonesia Ditengah Pandemi; Katalis Menuju Era Baru, Candra Darusman, seorang musisi dan seniman memaparkan 3 hal yang dapat diterima dengan baik untuk gelar acara dalam format ‘Wajah Baru’ berkesenian, yakni menerima terjadinya perubahan dari fisik ke digital melalui platform yang tersedia, migrasi. Dan proses migrasi ini menuntut adanya kesiapan infrastruktur yang mendukung, selain menuntut kemampuan beradaptasi yang sangat cepat bagi pegiat seni, terutama sekali yang selama ini masih berkarya secara konvensional.
Konser virtual merupakan salah satu bentuk baru berkesenian. Salah satu konser virtual yang paling menonjol di masa pandemic ini muncul dari sosok Didi Kempot dalam rangka konser amal. Konser tersebut mampu manggalang donasi untuk penggalangan dampak Covid-19, dengan waktu konser selama hampir 3 jam, mampu menggalang dana mencapai lebih dari 7 milyar.
Gerakan konser amal secara virtual menyodorkan sebuah fenomena baru, yakni kerja kolaborasi dalam masa pandemic ini. Tentu, model konser virtual ini bisa ditonton oleh begitu banyak masyarakat, dengan memenuhi protokol kesehatan sehingga menghambat pesebaran virus Corona.
Konser ‘Drive-In’, Bukti Kreatifitas Tak Mati
Banyak orang berpendapat bahwa live-show tidak pernah bisa tergantikan, karena ‘energi’ dari live-show hanya muncul saat terjadi pertemuan antara pemain di atas panggung dan penonton. Menjawab kegelisahan tersebut Berlian Entertainment, Mata Elang Production dan Mahaka Radio Integra tengah bersiap mengadakan konser pertama new normal di Indonesia dengan konsep ‘Drive-In’. Konser ‘Drive-In’ yang direncanakan lepas pelonggaran masa PSBB yang akan diisi oleh sejumlah musisi yang akan berbondong-bondong tampil. “Prinsipnya harus mengikuti safety protocol di era new normal saat ini. Pelaksanaan konser ini tetap mengedepankan tiga hal utama protokol harus dipersiapkan, yaitu physical distance, safety (menggunakan masker, disinfektan, minimal Kontak) dan healthy, dengan melakukan physical check bagi yang bekerja maupun audience on site,” ungkap Dino Hamid selaku PR Berlian Entertainmet.
Konser Drive-In ditengah pandemi ini sudah dilakukan dan sukses digelar sebelumnya di beberapa negara seperti, Korea Selatan, Denmark dan Lithunia pada Mei serta Juni lalu. Musisi Denmark, Mads Langer, mengaku puas usai menghadirkan konser ditengah para fans, “Luar biasa rasanya bertemu kembali dengan audience kita, meskipun hanya duduk nyaman di dalam mobil, alih-alih meminta mereka menunjukan tangannya, saya meminta mereka memindahkan wiper ke kiri dan ke kanan,†ungkapnya bersemangat.
Hidup Berdampingan Dengan Pandemi
Dalam masa kegelapan dikepung pandemi, saat semua terasa tidak akan kembali sama, maka mungkin saja ini adalah waktunya bagi setiap kita untuk merefleksikan diri, mendalami sebuah karya secara lebih mendalam lagi, memperbarui dan lebih meninggikan eksistensi keberadaan seni yang selama ini terlalu dikomersilkan keberadaannya. Berdampingan dengan pandemi telah menghasilkan kreasi dan inovasi seni yang merupakan kontribusi awal, dan ini adalah energi yang dihasilkan dari mereka yang masih memiliki harapan untuk lebih baik.
Menjalani hidup dalam masa pandemic, perlu kita ingat kembali yang disampaikan oleh Martin Luther King, “We may have all come on different ships, but we’re in the same boat now.†Ya, kita bisa berasal dari berbagai dan berbeda kapal, namun saat ini kita semua berada dalam satu perahu yang sama. Kita ditantang untuk tetap bertahan dan hidup dalam masa pandemic, meski kita berasal dari jenis kesenian yang berbeda, namun kita saat ini berada dalam kesulitan yang sama.
Tjroeng2020