SUMPAH KERONCONG


Kasihan bangsa, yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak ia panen,
dan meminum susu yang ia tidak memerasnya.

Sepenggal puisi dari Kahlil Gibran mengusik nurani kita. Setidaknya dalam momentum peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda yang jatuh di 28 Oktober 2009. Api yang membara pada jiwa-jiwa muda di tahun 1928 menagih kita semua.  Ada beberapa poin penting yang bisa digali dari Semangat Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928. yakni :

  1. Sudahkah kita Bertumpah Darah Satu, Tanah Indonesia, sementara pulau-pulau tergadaikan dan bahkan tak dirawat sehingga lari ke penguasaan negara lain?
  2. Sudahkah kita Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia manakala kita lebih mengagungkan produksi asing dan kurang mencintai produk-produk lokal kita?
  3. Sudahkah kita Berbahasa Satu, yakni Bahasa Indonesia manakala kita  membiarkan dialog dalam sinetron yang mengajarkan bahasa ketidaksopanan dan kurang menjunjung bahasa kemanusiaan?

Upaya memaknai Ikrar Sumpah Pemuda tidak bisa dilepaskan dengan konteks kekinian di mana perubahan jaman sangat cepat, namun di sisi lain substansi bernegara dan berbangsa juga ikut tergerus. Pada sisi ini melakukan refleksi atas nilai-nilai luhur ikrar kaum muda di tahun 1928 menjadi sangat penting.

Garam import dan senandung keroncong

70% wilayah Indonesia adalah lautan, dan dari lautan-lah garam bersumber. Namun kenyataan yang terjadi, pada saat ini Indonesia malah melakukan kebijakan impor garam yang bernilai sebesar Rp. 900 Miliar setahun. (KOMPAS, 24 Agustus 2009) Akibat dari kebijakan tersebut, puluhan ribu petani garam mulai menganggur. Atas dasar kualitas garam lokal yang kurang bagus, pemerintah memberlakukan import garam, bukannya melakukan peningkatan kapasitas petani garam untuk meningkatkan kualitas produksi garamnya.

Hal ini menjadi sangat ironis. Bangsa yang kaya akan sumber daya laut melakukan kebijakan yang sangat aneh. Mengacu pada petikan puisi Kahlil Gibran di atas, maka dapat dikatakan, ”Kasihan bangsa yang mengkonsumsi garam yang tidak berasal dari lautnya sendiri. Memberi gaji pada luar negeri dan tidak tanggap pada rakyat sendiri

Fenomena kebijakan import garam, secara nyata menunjukkan bahwa secara gamblang pemerintah tidak mampu melihat potensi dan peluang pengembangan potensi lokal untuk dijadikan investasi untuk mensejahterakan warganegaranya. Seperti hanyal musikkeroncong yang lahir dari bumi Indonesia tidak mendapat tempat yang baik di sisi kebijakan nasional, sehingga arus musik dari luar menjadi begitu memenuhi udara Indonesia, sehingga rintihan kaum papa tak lagi terdengar.

Sumpah Keroncong

Dalam upaya menggali musik nasional Indonesia, Keroncong menempati posisi yang sangat krusial, di mana keragaman bangsa dan keragaman budaya menjadi ciri khas keindonesiaan kita, justru terwakili dalam musik keroncong.  Pertemuan lintas budaya memunculkan musik keroncong sebagai musik yang tidak hanya tumbuh dari kesenian satu daerah, namun dalam perjalanan waktu musik daerah memperkaya musik keroncong. Karakter musik keroncong di wilayah Indonesia sangat kental dengan warna lokal, semisal di Lampung, dengan KR 56 musik keroncong yang dibawakan memuat karakter melayu, di Solo musik keroncong kental dengan warna musik langgam, dan di Jakarta dengan corak keroncong yang juga khas Jakarta.

Musik keroncong adalah representasi Indonesia. Pluralitas dan harmonia-nya menyeruak ke penjuru dunia. Momentum sumpah pemuda mengajak kita semua untuk semakin mencintai dan memainkan musik keroncong. Musik keroncong mengajak kita semua untuk kembali memaknai ikrar Sumpah Pemuda, dalam perbedaan selalu dituntut untuk menciptakan harmoni yang seimbang dan padu. Maka kita akan bangga, bahwa sebagai bangsa Indonesia memainkan musik Indonesia, yakni musik keroncong.

Kami, putra dan putri Indonesia bertekad memainkan musik Indonesia, yakni musik keroncong dan berjuang menawarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan demi perkembangan Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Please follow and like us:

tjroeng

Tjroeng Admin

2 thoughts on “SUMPAH KERONCONG

  • October 8, 2010 at 2:05 pm
    Permalink

    Musik keroncong akan dimainkan, atau lagu keroncong akan dinyanyikan oleh generasi masa kini tidak tergantung pada sumpah, melainkan –karena ini kategori seni–pada wawasan estetika; sedangkan wawasan estetika tergantung dari bagaimana suatu generasi dlm masyarakat memandang dan memahami realitas, serta hubungan realitas tersebut dgn realitas di atas dan di bawahnya. Alam (nature) merupakan suatu realitas ciptaan Tuhan yg mengatasi realitas buatan manusia berupa teknologi dan materi yg dihasilkannya, itulah pandangan “generasi keroncong” mengenai realitas. Dari sini lantas timbul kecintaan terhadap alam, alam dipandang dan dirasakan sebagai sumber keindahan dan memberikan inspirasi untuk mengungkapkannya; inilah wawasan estetika mereka. Wawasan estetika inilah yg melahirkan lagu2 yg indah bernilai seni yg tinggi seperti Bengawan Solo (Gesang), Indonesia Tanah Airku (Kelly Puspito), Rayuan Kelana (Sapari), dll. Masihkah wawasan estetika ini dianut sekarang? Wallahu a’lam. itu suara air/mendesir-desir/di pintunya-lah air/terjun mengalir…(Gesang, Tirtonadi). Salam

  • December 28, 2010 at 8:27 am
    Permalink

    January 23rd 2010……………………….Kiriman Ni Wayan Ardini S.Sn. MSi.Musik keroncong yang menjadi bagian dari budaya musik Indonesia didalamnya terdapat karakteristik yang mengandung nilai-nilai budaya universal seperti halnya musik-musik yang lain. Musik keroncong memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bentuk musik lainnya yang muncul dari perpaduan antara elemen-elemen musikal musik pengiring dan teknik penyajiannya..Perkembangannya lagu-lagu modern yang dikeroncongkan menjadi keroncong modern. Ide ini tercetus karena adanya kejenuhan dalam mendengarkan keroncong gaya lama yang statis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial