Keroncong, Oh Keroncong

Raushanfikr Muthahari *)
Raushanfikr Muthahari *)

Musik itu terdengar mendayu, memecah keheningan pagi di rumah tua, rumah kesayangan eyangku. Semakin lama terdengar, semakin menggoda perhatianku untuk mendengarnya secara seksama. Alunan biola itu seolah-olah bernyanyi berharmoni bersama penyanyi, mengubah frasa “sepasang mata bola” menjadi indah terdengar. Musik yang santai, lembut, membawaku larut dalam suasana. Nada demi nada indah berbaur dengan suasana pagi itu; kicauan burung, embusan pagi, dan sedikit kabut putih lembut. Apa mungkin ini nostalgi yang dikatakan para pecinta musik itu, sebuah memoar yang timbul dari suara indah?

Hingga saat ini, keroncong menjadi musik yang selalu kusukai. Alunannya mengantarkanku ke memori masa lalu, pemandangan yang indah pagi itu, rumah eyangku, dan beliau yang selalu tersenyum padaku. Setiap kali kudengar, semakin jelas ingatan itu. Kenangan masa lalu pada setiap liriknya. Damai, tenang, dan bahagia.

Ketertarikan pada musik keroncong, juga mendorongku untuk berlatih instrumen favoritku yang sering kudengar, biola. Aku yang pada waktu itu duduk di bangku SMP, belum sadar bahwa musik itu bernama “keroncong”, yang kutahu ialah “musik-memoar-masa-lalu”, jadi aku berkembang untuk menyukainya, bukan dari pencarian yang dalam pada musik, tetapi “kecelakaan” ketika aku tidak sengaja mendengarnya dulu…(mungkin ini rasanya jatuh cinta pada pendengaran pertama :D).

Setelah aku tahu, bahwa di TVRI Jogja ditayangkan “musik-memoar-masa-lalu” itu, barulah aku tahu bahwa itu adalah musik “keroncong” hehe.. Sedikit aku mengernyitkan dahi, aneh pikirku, kenapa lagu ini sering diawali dengan kata “langgam”? Ternyata, musik ini spesial, berbeda seperti musik lainnya pada zaman ini, berbeda seperti namanya. Ya, musik ini spesial. Banyak yang belum kutahu tentang musik spesial ini. Aku ingin tahu lebih banyak!

Keroncong-Teman-Keroncong

Sering aku bermain definisi, apakah itu orang gila. Sekedar untuk lelucon sebenarnya, apakah orang gila itu adalah “orang gila di tengah-tengah orang waras” ataukah “orang waras di tengah-tengah orang gila”? Guyonan itu sering aku sampaikan pada teman-temanku, ketika pendapatku berbeda, sekedar untuk bercanda. Kesukaanku pada keroncong juga menambah keheranan teman-temanku pada “kegilaanku”. Mungkin aneh bagi mereka yang didikte oleh perkembangan jaman. Tak sedikit dari mereka yang berkata “Jadul banget, sih kamu San!”, atau, “Musik orang tua tuh!”. Menurutku, itu hal yang wajar, karena mereka berparameter pada kesukaan mayoritas. Tapi, berbeda dengan tanggapan seorang temanku, yang bersama-sama bergabung dengan kelompok ensambel di sekolah, ternyata dia juga simpatik terhadap keroncong! Menurutnya, keroncong adalah musik yang “everlasting“, berbeda dengan lagu pop masa kini. Yah, ternyata ada yang sependapat akhirnya :).

Temanku yang lain mengaitkan keroncong dengan salah satu band yang memakai musik keroncong pada salah satu lagunya, Fade2Black-Bondan Prakoso. Ia baru mengenal dan menyukainya, karena dibawakan oleh anak muda, dengan gaya “funky” dan elegan masa kini. Ya, aku juga menyukainya. Sangat cocok alunan keroncong dimainkan bersama rap keren dari Bondan. Aku jadi berandai-andai. Kalau saja teman-teman sekolahku juga mendapatkan pengalaman ’indah’ dengan keroncong, mungkin ada banyak Bondan Prakosa, yang mampu memadukan kekinian jaman dengan keindahan dan kedamaian keroncong menjadi karya seni yang ’everlasting’, elegan, sekaligus ’funky’. Hmmm…. kapan ya itu terjadi?

*) Siswa SMA Negeri I Yogyakarta

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial